Perpaduan
Hindu-Islam dan Bangsa Asing
Akulturasi
adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang
mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara
langsung dan terus-menerus yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola
kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya. Kebudayaan
tersebut kemudian melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi
tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.
Adanya Interaksi
antara masyarakat Buton dengan masyarakat dengan bangsa lain mengakibatkan
adanya kontak budaya atau akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan
baru yang menjadi ciri Khas masyarakat Buton. Akulturasi ini didukung oleh
Budaya Buton yang sejak dulu terkenal sebagai bangsa Bahari/pelaut .
Masuknya
pengaruh Hindu dan Islam merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun
tetap didukung adanya proses Interaksi baik dalam perdagangan maupun budaya
masyarakat Buton sebagai bangsa Bahari. Hal
ini berarti kebudayaan Hindu dan Islam serta pengaruh bangsa lain yang masuk ke
Buton tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan
disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Buton, sehingga budaya
tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Buton menjadi bentuk akulturasi
kebudayaan Buton.
Proses pengolahan dan penyesuaian
dengan kondisi kehidupan masyarakat Buton tanpa menghilangkan unsur-unsur asli,
hal ini disebabkan karena:
1.
Masyarakat
Buton telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya
kebudayaan asing ke Buton menambah perbendaharaan kebudayaan Buton.
2.
Kecakapan
istimewa yang dimiliki masyarakat Buton atau local genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima
unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan
kepribadian bangsa Buton.
Pengaruh kebudayaan hanya
bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Buton. Perpaduan budaya Hindu-Islam
dan bangsa asing melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang.
Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing
sesuai dengan kebudayaan Buton.
Adapun Hasil akulturasi tersebut
tampak pada
1.
Akulturasi Bahasa
Masyarakat
(Etnik Buton) memiliki beragam bahasa yang begitu beragam. Hingga sekarang
dapat ditemui lebih dari tiga puluhan bahasa dengan berbagai macam dialek.
Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan
bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa
Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Buton. Penggunaan bahasa Sansekerta ditemukan pada Istilah
penamaan di peninggalan kerajaan Buton pada abad 13 M, contohnya Ungkapan Sangia. Diduga
sangia ini berasal dari Sanghyang (Sangsekerta= Beliau yang disucikan). Sangia
(Buton) memiliki makna yang dimuliakan, keramat/suci. Makna ini melekat pada
seorang Sakti/Raja/Sultan di Buton atau menunjukan tempat/daerah yang dianggap
keramat atau suci. Misalnya Raja Buton V Rajamulae Sangia yi Gola (menunjukan julukan Sultan) dan Sangia Galampa
(menujukan suatu tempat). Pengungkapan sangia ini sekarang sering digunakan oleh
orang tua untuk menakuti anak-anaknya untuk menunjuk tempat yang tidak boleh
didatangi. Selain itu masih adanya ucapan “katauna
baramana” dari orang tua jika melihat anaknya melakukan tindakan tidak sesuai
dengan hukum dan ajaran Islam (“ajaran Brahmana=sangsekerta (Dewa/suci/) yang
menjurus terhadap ajaran Hindu”).
Dalam
perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Arab seiring
masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M, banyaknya penggunaan
bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya pengaruh Islam dalam
Kesultanan Buton. Seperti halnya sembah (sangsekerta) menjadi Somba (Buton), Sembah
Hyang (sangsekerta) menjadi Sambahya (buton) yang bermaksna Sholat (arab) lalu
menjadi Shola/Sholati (buton). Makna Somba lalu menjadi hormat/tunduk. Tidak
hanya itu, seiring masuknya bangsa Eropa ke Buton pada abad ke-16, perkembangan
bahasa juga nampak terlihat pada
istilah-istilah yang menyerap bahasa asing seperti ungkapan Baluara (buton)
yang berarti Bastion yang diserap dari kata Bel’wer (bastion/gazebo), Kapita
(buton) dari istilah Captein (belanda) atau panglima perang. Disamping itu
bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa melayu.
2.
Kepercayaan/Agama
Sebelum masuknya pengaruh Hindu
ke Buton oleh bangsa Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad
15, masyarakat Buton mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap
roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong
masyarakat Buton mulai menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan
kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa
alam. Misalnya masyarakat nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa laut
Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan Banda
yang terkenal ganas. Disamping itu masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang
melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam**** (tidak boleh
disebut namanya/hanya diucapkan dengan cara berbisik)
Agama
Hindu dan Islam yang berkembang di Buton sudah mengalami perpaduan dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme yang merupakan bagian dari
proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi
satu. Seiring masuknya Islam di Buton, Budaya Hindu mulai bergeser menjadi
budaya yang Islami. Namun banyaknya ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan
masyarakat Buton hingga sekarang bisa dipastikan mengandung unsur Sinkritisme. Adapun ritual-ritual dan
pesta adat tersebut antaralain yaitu:
·
Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual masyarakat
Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap tengah
malam tanggal 12 Rabiul awal
·
Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan
masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.
·
Tuturiangana Andaala
yaitu Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makasar (liwuto)
kepada Allah SWT, atas keluasan rejeki
yang terhampar luas disektor kelautan
·
Mataa yaitu ritual adat yang digelar masyarakat Buton
etnik cia-cia di desa Laporo yeng merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT
atas hasil panen yang diperoleh.
·
Pekande-kandea yaitu pesta syukuran masyarakat Buton
kepada Allah SWT atas limpahan anugrah yang diberikan
·
Karia yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di
Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat
ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama
orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang bertujuan
untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
·
Posuo (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang
ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri
untuk berumah tangga.
·
Kabuenga, Haroa, Sambura’e dll
Masuknya
Islam di Buton pada abad ke-15, yang di bawah oleh Ulama dari Patani juga telah
meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu
Fikih merupakan ilmu Islam yang mempelajari hukum dan peraturan yang mengatur
hak dan kewajiban umat terhadap Allah dan sesama manusia sehingga masyarakat
Buton dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam.
Pada Abad
ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton, yang dibawah oleh
Sufi yang berasal dari Aceh. Tasawuf merupakan ajaran pokok Islam tentang
keesaan Tuhan, Ilmu teologi/Ilmu ketuhanan/ Ilmu Tauhid. Tasawuf kemudian
berkembang menjadi aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat Buton. Namun
meskipun begitu, terdapat perbedaan yang Khas terhadap ajaran Tasawuf/tarikat
yang berada di Patani/Aceh, misalnya masyarakat Buton mempercayai adanya
Reinkarnasi, hal ini tidak ditemukan pada ajaran Tasawuf/tarikat yang berada di
Aceh/Patani.
3. Sistem
Pemerintahan dan Organisasi Sosial
Kemasyarakatan
Wujud akulturasi
dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi
politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Buton setelah masuknya
pengaruh Cina, melayu, dan Jawa di Buton.
Dengan
adanya pengaruh kebudayaan tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di
Buton yang semula cuma perkampungan adat (limbo) atau berdasarkan kesukuan,
kemudian berubah bentuk menjadi sebuah Kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja
yang berlaku juga oleh turunannya.
Raja di
Buton ada yang dipuja sebagai Dewa atau dianggap keturunan Dewa yang keramat,
sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan pemistisan
Raja pertama (Wa Kaaka;1332! M) oleh masyarakat Buton yang dipercaya
lahir/hidup dalam Bambu.
Tradisi asal usul kemudian mengalami penyimpangan sesuai irama abad kehidupan masyarakat Buton
yang berada dalam peradaban Islam. Diungkapkan bahwa Putri Wa Kaaka disebut Musaraffatul Izzati Al Fakhri berarti
“Perempuan yang dimuliakan atau diagungkan”. Ia menarik garis keturunan dari
Nabi Muhammad. Penarikan garis keturunan ini sekaligus mewarnai dan menandai
segenap tata pemerintahannya di Buton yang bernuansa Islami.
Ke
Khas-an Budaya Buton bahwa Pemerintahan Raja dan Sultan di Buton tidak bersifat
mutlak dan turun-temurun seperti di Cina, Jawa atau kerajaan melayu lain, namun
melalui prinsip pemilihan yang dilakukan oleh Dewan/Sara yang menerapkan prinsip musyawarah.
Wujud
akulturasi dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan,
yaitu adanya pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta/golongan.
Sistem
kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta
Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh masyarakat
Buton tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali
karena disana benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan
di Buton tidak demikian, karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem
pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Adapun penggolongan tersebut yaitu:
·
Kaomu
atau Kaumu
(kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja/Sultan dipilih
dari golongan ini.
·
Walaka, (elit penguasa) iaitu
keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan buton (mia patamiana). Mereka memegang
jabatan penting di Kerajaan seperti mentri dan juga dewan. Mereka pula yang
menunjuk siapa yang akan menjadi Raja/Sultan berikutnya.
·
Papara
atau
disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih
merdeka. Mereka dapat dipertimbangkan
untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali
tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
·
Babatua
(budak),
orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki utang. meraka dapat
diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
·
Analalaki
dan Limbo.
Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya
kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status
sosialnya.
4.
Seni
Budaya dan pengetahuan
Masuknya Budaya Islam pada
masyarakat Buton sangat mempengaruhi kebudayaan Buton.
Pengaruh
bangsa bangsa lain dan Islam terhadap kesenian dan Budaya Buton terlihat jelas
pada bidang-bidang dibawah ini:
A.
Seni
Bangunan
Seni bangunan tampak pada bangunan Benteng, tempat
ibadah (mesjid) dan Istana Kerajaan/Kesultanan. sebagai wujud percampuran
antara seni asli bangsa Buton dengan Islam dan eropa.
Benteng Keraton Buton yang dibangun oleh masyarakat
Buton pada abad Ke-16 M syarat dengan simbol Islam dan dibeberapa titik bergaya
Eropa. Benteng Keraton Buton berbentuk huruf “dal” yang merupakan huruf
terakhir dari kata Nabi Muhammad, disamping itu terdapat Benteng Sorawolio yang
berbentuk huruf “alif” yang merupakan huruf awal dari kata Allah. Dan banyak
lainnya. Gaya Eropa pada benteng Kesultanan Buton dapat ditemukan dengan adanya
beberapa Bastion pada benteng Kesultanan Buton yang mirip dengan Bidak benteng
pada permainan catur.
Mesjid dalam Kompleks Kesultanan Buton dalam
pembangunannya juga banyak memiliki simbol-simbol. Ini menandakan kuatnya
ajaran tasawuf yang dianut oleh masyarakat Buton yang penuh dengan makna-makna dan
simbol tertentu, misalnya jumlah tiang yang digunakan, jumlah pintu, dll. Namun
pada Kuba Mesjid agung Keraton Buton yang berbentuk limas menandakan adanya
kemiripan dengan mesjid-mesjid yang dibangun oleh masyarakat Jawa.
Makna dan Simbol Islam juga terdapat pada bentuk
Istana Kesultanan Buton. Istanah Buton dibuat bertingkat-tingkat sehingga dari
depan tampak seperti orang yang sedang Sholat pada posisi Takbirahtur Ihram.
Uniknya, ruangan depan dalam Istanah memiliki posisi lebih rendah di banding
posisi ruangan belakang yang disimbolkan seolah-olah dalam posisi bersujud.
Pada Istanah Juga terdapat Ukiran buah nenas dan Naga yang menjadi simbol
Kesultanan Buton, dimana Nenas dan Naga merupakan Akulturasi antara budaya
Buton dan Cina.
B.
Aksara
dan Seni Sastra
Untuk
aksara, masyarakat Buton menggunakan Aksara Wolio (Buri Wolio) yang merupakan
perpaduan antara aksara Arab yang telah di ubah sesuaikan dengan Bahasa Buton.
Penggunaan aksara Wolio ini telah digunakan sejak masuknya Islam di Buton dan
mulai berganti dengan huruf latin pada awal abad ke-20. Hal ini dapat dilihat manuskrip
dan Warkah-warkah Kesultanan Buton yang menggunakan Buri Wolio abad 16 sampai
ke-19M. Aksara Wolio juga digunakan pada naskah Undang-Undang Kesultanan Buton
yang dibuat pada masa Sultan ke-4 Buton Laelangi atau Dayanu Iksanuddin abad ke-16
M yang bernafaskan ajaran Tasawuf.
Pada Sastra, tampak pada karya-karya
sastra Buton yang bernilai tinggi. Karya sastra yang berkembang pesat pada abad
ke-18/19 yaitu berupa:
1.
Kabanti
(Syair), yaitu karya sastra berupa syair yang berisi ajaran-ajaran ahklak dan
Budi pekerti serta nasehat-nasehat dan juga sejarah. Contoh : Kabanthi Kanturuna Mohelana (bahasa Wolio= Lampunya Orang
Berlayar), Kabanti Ajonga yinda Malusa
(Kain yang tidak luntur), dll
2.
Hikayat,
yaitu cerita rakyat yang sudah ada
sebelum masuknya Islam.
Contoh: Hikayat Sipanjonga
3.
Kisah
sejarah yang terkadang memuat silsilah para raja suatu kerajaan Islam
Contoh: Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul
Munajat (sejarah berdirinya Kerajaan Buton dan Muna)
C.
Seni
Tari
Selain seni Sastra, masyarakat
Buton juga banyak mengenal seni Tari. Adapun seni Tari masyarakat Buton antara
lain:
-
Tari
Galangi, merupakan tari yang dilakukan oleh pengawal Kesultanan Buton
-
Tari
Lariangi, merupakan tarian bagi masyarakat Buton di Wakatobi, tarian ini
digunakan untuk menyambut para tamu Kerajaan.
-
Tari
Lumense, tari ini menampilkan sejumlah simbol perilaku masyarakat Buton di
Kabaena
-
Tari
Merere, merupakan tari Tradisonal masyarakat Buton yang berada di Kulisusu.
Merere adalah pelaksanaan Prosesi Adat untuk mengislamkan agar diberi
pengetahuan ilmu keagamaan dengan diajarkan mengucakan dua kalimat sahadat
sebagai petanda menjadi penganut Islam yang sejati.
-
Tari
Honari Mosega, Tari Lulo Aru, Tari
Kalegoa dll.
D.
Seni
Musik
Gambus merupakan alat
musik tradisional asli khas Masyarakat Buton. Alat musik yang dipetik seperti
gitar tersebut biasa digunakan untuk mengiringi tarian atau syair-syair
kabanthi (syair Khas masyarakat Buton).
E. Filsafat
Perkembangan Ilmu filsafat di Buton telah tumbuh pada masyarakat Buton yang kemudian berfungsi untuk mendukung pendalaman agama Hindu-Islam. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa landasan penubuhannya adalah nilai-nilai dan semangat yang mengacu pada “kesepakatan” dan “kebersamaan”. Prinsip dari nilai-nilai itu terwujud dalam falsafah yang disebut Pobinci-binci kuli. Jika prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan maka “kebersamaan” membentuk nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara penguasa dan rakyat secara vertikal dan sesama rakyat secara horisontal dilandasi oleh kedua prinsip nilai tersebut. Pobinci-binci kuli terurai dalam ungkapan di bawah ini:
Perkembangan Ilmu filsafat di Buton telah tumbuh pada masyarakat Buton yang kemudian berfungsi untuk mendukung pendalaman agama Hindu-Islam. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa landasan penubuhannya adalah nilai-nilai dan semangat yang mengacu pada “kesepakatan” dan “kebersamaan”. Prinsip dari nilai-nilai itu terwujud dalam falsafah yang disebut Pobinci-binci kuli. Jika prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan maka “kebersamaan” membentuk nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara penguasa dan rakyat secara vertikal dan sesama rakyat secara horisontal dilandasi oleh kedua prinsip nilai tersebut. Pobinci-binci kuli terurai dalam ungkapan di bawah ini:
·
Pomae-maeka (Saling menghormati)
·
Popita-piara (Saling
menjaga/pelihara)
·
Poangka-angkataka (Saling
mengangkat derajat)
Adapun prinsip yang
tertuang dalam falsafah kesultanan dalam arti politik, tertuang sebagai
berikut:
·
Yinda Yindamo Arataa Somanamo
Karo (Biarpun harta habis asalkan jiwa raga selamat)
·
Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu (Biarpun
jiwa raga hancur asal negara selamat)
·
Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara (Biarpun
negara tiada asal pemerintah ada)
·
Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama
(Biarpun pemerintah tiada asal Agama dipertahankan)
F.
Sistem
Kalender
Sistem penaggalan pada masyarakat Buton diadopsi
dari sistem kalender/penanggalan Arab (hijriah). Hal ini dapat dilihat pada
warkah-warkah dan manuskrip Kesultanan Buton yang pada pembuatannya menggunakan
penanggalan Hijriah. Namun ada yang unik terhadap penanggalan Buton, selain
menggunakan tahun Hijriah, ternyata masyarakat Buton juga menggunakan Hari
Pasaran pada beberapa naskah yang digunakan sebagai primbon atau buku ramalan.
Tampaknya penaggalan Jawa tidak sertamerta hilang setelah masuknya budaya Islam
yang begitu kental di Buton.
5. Peralatan Hidup, Ekonomi dan Teknologi
Masyarakat Buton dari sebelum
masuknya agama Hindu-Islam sebenarnya sudah memiliki budaya yang cukup tinggi.
Dengan masuknya pengaruh budaya Hindu-Islam di Buton semakin mempertinggi
teknologi yang sudah dimiliki bangsa Buton sebelumnya. Pengaruh Alkuturasi
Budaya terhadap perkembangan teknologi masyarakat Buton terlihat dalam bidang
kemaritiman, perekonomian dan pertanian/perkebunan.
-
Perkembangan
kemaritiman terlihat dengan semakin banyaknya kota-kota pelabuhan di Buton
seperti Baubau, Pasarwajo, Waara, Wanci, Ereke dll, juga berkembangnya ekspedisi
pelayaran dan perdagangan antar negara. Selain itu, masyarakat Buton yang
awalnya baru dapat membuat sampan sebagai alat transportasi kemudian mulai
dapat membuat perahu bercadik dengan bobot mencapai 500 ton.
-
Masyarakat
Buton juga mempunyai alat tukar sendiri yang disebut dengan Kampua. Kampua atau
mata uang Kerajaan Buton yang terbuat dari hasil tenunan putri-putri
raja/sultan tersebut adalah satu-satunya mata uang yang masih beredar setelah
Indonesia merdeka.
-
Budaya
tenun di Buton telah ada sejak berdirinya Kerajaan Buton pada abad ke-14.
Budaya menenun ini dilakukan oleh putri-putri Raja atau bangsawan di Kerajaan
Buton.
-
Sebagai
masyarakat bahari, pada awal abad ke-20 komoditi utama yang menjadi andalan
untuk di ekspor yaitu tripang, kulit penyu, agar-agar, mutiara, dan sirip ikan
hiu. Juga beberapa hasil perkebunan terutama Kopi.
-
Pada
awal abad ke-20, masyarakat buton telah melakukan usaha pertambangan berupa
aspal yang produksinya mencapai 20.000 ton pada tahun 1938.
-
Dalam
bidang pertanian, tampak dengan adanya pengelolaan sistem irigasi yang baik mulai
diperkenalkan dan berkembang, pola bertani dan sistem pertanian pada masyarakat
Buton dibawah oleh masyarakat Bugis dan Toraja, walaupun demikian masyarakat
Buton kurang memiliki perhatian pada sistem pertanian.
Demikianlah
Akulturasi Budaya masyarakat Buton yang begitu modern dan terus mengikuti
perkembangan zaman. Akulturasi tersebut membentuk karakter dan ciri Khas dalam
budaya dan perkembangan masyarakat Buton yang bertahan hingga sekarang.
Rusman Bahar LM
Makassar 6/2/2011
Thanks ya membantu banget dalam penyusunan makalahku....
makasih sangat membantu bangat