LEGENDA PANTAI KATANAA


Melihat Kearifan Lokal Orang Buton Dari Sebuah 
Cerita Dan Legenda


a.       Pendahuluan
kearifan lokal merupakan nilai, cara atau kebiasaan hidup yang dipelihara juga diwarisi secara turun temurun. Kearifan lokal biasanya berbentuk etika, mitos dan prinsip hidup. Mitos ini belum tentu benar adanya, namun legenda atau ceritanya memiliki nilai yang dapat dipetik. Mitos ini juga seringkali ditakuti sehingga masyarakat enggan berbuat yang bertentangan dengan mitos tersebut. Adapun Legenda merupakan cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang mempunyai cerita sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi. Oleh karenanya hampir setiap daerah di nusantara banyak terdapat legenda-legenda yang terus dituturkan oleh penduduk setempat, tidak terkecuali oleh masyarakat Buton dengan legenda pantai Katanaa-nya.

b.      Sedikit historys tentang pantai Katanaa
Pantai Katanaa berada kurang lebih tiga kilometer sebelah selatan pantai nirwana tepatnya dikampungWabagere (perbatasan Kota Baubau). Pantai Katanaa berada jauh dari jalan raya dan apabila hendak menuju kesana, maka mereka harus melewati jalan yang menurun dan terjal.
Dahulu di Kampung Wabagereadalah sebuah perkampungan yang ramai sebab selain terdapat pantai juga terdapat pasar yang menjadipenghubung masyarakatkhususnya masyarakat yang berada di kampung Burukene Lama, Lawela dan Wabagere.Selain pasar, di kampung Wabagerejuga terdapat sumber air yang berada dalam gua yang meskipun berupa air payau, namun bagi penduduk setempat air tersebut juga biasa digunakan sebagai sumber air minum.Pasar yang terdapat di kampung Wabagere juga disebut sebagai pasar Katanaa sesuai dengan nama legenda pantai tersebut.  Sampai tahun 1960-an, pasar Katanaa masih digunakan oleh penduduk setempat(Burukene Lama, Lawela dan Wabagere),namun karena pembuatan jalan baru yang menghubungkan Baubau dengan Batauga tidak melewati daerah setempat (Pasar Katanaa),ditambah lagi warga Kampung  Burukene Lama yang dipindahkan ke daerah Laompo (berbatasan dengan  daerah Masiri) dan kampung Waborobo (selatan Benteng Keraton Wolio) yang notabene penduduknya sering melakukan perdagangan di pasar  tersebut, maka praktis pasar Katanaa menjadi sepi dan akhirnya ditinggalkan malahansekarang  hampir dilupakan. Namun walau begitu, sampai sekarang sumber air payaudalam gua yang berada tidak jauh daripantai Katanaa masih digunakan oleh penduduk Kampung Wabagere atau penduduk lain yang masih berkebun didaerah itu untuk keperluan sehari-hari.
Oleh karenanya, walaupun pasar Katanaa sudah menjadi pasar mati, namun legenda yang menyertainya tetap terus dituturkan bagi sebagian orangtua di Buton khususnya bagian masyarakat  Burukene, Lawela dan juga Wabagere kepada anak-anaknya disebabkan makna budi pekerti yang terkandung didalamnya.

c.       Legenda asalmula pantai Katanaa
Dikisahkan oleh orang tua terdahulu
..........suatu ketikabeberapa remaja putri sedang menikmati permadian disebuah pantai di kampung Wabagere. Mereka sangat menikmati suasana tersebut dengan riang sambil menanti datangnya senja disore hari, seolah hari-hari yang mereka lewati begitu indah dan menyenangkan, maklum mereka adalah putri-putri dari bangsawan kerajaan Buton. Diantara mereka adalah seorang putri bernama Wa Katanaa yang memiliki paras yang cantik dan ayu. Wa Katanaa menjadi primadona dikalangan mereka dan terkadang teman-temannya iri atas kecantikan wajahnya.
Waktu menjelang sore, dan pengawal-pengawal putri bangsawan tersebut mulai berdatangan  untuk menjemput mereka, namun mereka seolah tidak mau beranjak dari tempat permandiannya. Mereka terus saja asyik menikmati suasana pantai yang sejuk dengan hantaman ombak yang begitu lembut menyentuh tubuh mereka.
Lalu datanglah pemimpim dari pengawal tersebut yang juga seorang Bangsawan hendak membujuk mereka agar segera pulang. Rupanya putri-putri tersebut sejak semula memang sedang menanti kedatangan priaituyang juga memiliki wajah yang tampan dan juga santun. Maka berkatalah pemimpin pengawal tersebut kepada mereka. “ wahai.. tuan-tuan putri, hendaklah kalian beranjak dari situ sebab hari telah menjelang sore dan sebentar lagi gelap, dinginnya air akan menembus tulang kalianhinggaakhirnyakalian bisa sakit, dan apabila itu terjadi maka tuan-tuan putri tidak akan lagi menikmati hari-hari yang menyenangkan seperti saat ini..” keadaan menjadi sunyi, namun putri-putri tersebut belum juga mau beranjak dari tempat mandinya. Mereka rupanya diam-diam mengagumi pria tersebut dengan ketampanan dan  kelembutan suaranya. Mereka menggoda, mereka ingin mendengar pria itu berusaha membujuk mereka sekali lagi, namun tiba-tiba sesuatu terjadi, salah seorang dari mereka tanpa sengaja buang angin (kentut) akibat terlalu lama berendam dalam air, maka suasana yang tadinya sunyi berubah menjadi riuh. Semua tertawa tanpa terkecuali termasuk pemimpin pengawal tersebut yang sedikit agak tersinggung. Seorang pengawal yang tidak tahan atas kejadian ituspontan bertanya siapa gerangan diantara wanita-wanita cantik itu memiliki kentut yang begitu bau.
Mendengar celoteh salah satu pengawal atas kejadian memalukan tersebut, maka spontan mereka saling tunjuk dan saling membantahhingga mata semua tertuju pada sosok Wa Katanaa. Karena merasa malu terutama pada pria bangsawan yang menjadi pemimpin pangawal tersebut, maka dengan meyakinkan Wa Katanaamembantah tuduhan teman-temannya sambil bersumpah “wahai dengarkanlah sekalian, sesungguhnya bukanlah saya yang melakukan perbuatan memalukan tersebut, dan jika itu terjadi, maka saya lebih baik menjadi batu di pantai ini daripada ikut serta bersama kalian”. Mendengar ucapan Wa Katanaa, maka pria bangsawan tersebut kemudian berkata “Baiklah, lupakanlah, anggaplah kejadian tadi tidak pernah terjadi, maka segeralah kalian berkemas sebab hari sudah hampir gelap, ”. Maka putri-putri bangsawan tersebut satu persatu kemudian beranjak dari permandiannya dan menuju kedarat dengan wajah yang berseri-seri. Namun diantara mereka cuma Wa Katanaa yang belum juga beranjak dari tepi pantai. Melihat ia masih disitu,maka Pria Bangsawan itu kemudian kembali membujuk Wa Katanaa untuk segera meninggalkan tempat permadiannya, namun rupanya itu membuat teman-teman yang lainnya menjadi cemburu, lalu mereka memaksa bangsawan tersebut bersama beberapa pengawalnya untuk menemani mereka pulang dan meninggalkan Wa Katanaa bersama sebagian pengawalnya yang lain.
WaKatanaa belum juga bisa beranjak dari bibir pantai, Kakinya seolah-olah menjadi keram dan merasa kesulitan untuk beranjak dari tempatnya disebabkan pasir pantai yang menutupi sampai mata kakinya. Lalu para pengawal yang bersama Wa Katanaa mencoba untuk membantu mengangkat sang putri bangsawan tersebut dari tepi pantai, namun ternyata sia-sia. Semakin berusaha ditarik, maka makin kuatlah dan semakin tinggi pasir itu menutup kakinya. Meskipun sudah berusaha dengan sekuat tenaga dan menggunakan gagang tombak untuk mencukil pasir yang menutupi kaki waKatanaa,namun tetap saja tidak berhasil. Melihat hari sudah semakin gelap serta kejadian mengerikan yang dialami Wa Katanaa, maka para pengawal itu lari meninggalkan sang putriuntuk mencari pertolongan dan hendak menyampaikan peristiwa yang baru saja di alami oleh Wa Katanaa kepada penduduk setempat.
Dalam kesendiriannya wa Katanaa mencoba berteriak meminta pertolongan namun suara itu semakin lama semakin kecil,  lalu dia mengingat apa yang sebelumnya dia ucapkan, dia rela berbohong untuk menghindari malu dari orang yang dicintainya, dia sadar atas kebohongan dan sumpah serapahnya, dia menyesali perbuatannya, dia menangisi perbuatannya, namun suara itu tidak bisa lagi keluar dari mulutnya, terlambat sudah, sebagian badannya telah berubah hingga akhirnya seluruh tubuhnya menjadi batu.
Keesokan paginya, masyarakat berdatangan untuk melihat bagaimana nasib Wa Katanaa, mereka tidak menemukan sesuatu kecuali sebongkah batu seukuran manusia yang berada ditepi pantai. Dan sejak saat itu, pantai tersebut dinamakan pantai Katanaa.....

d.      Apa yang dapat diambil dari legenda pantai Katanaa
Salah satu kearifan lokal orang buton adalah kebiasaan orang tua mereka memberikan nasehat-nasehat tetang budi pekerti terhadap anak-anaknya. Nasehat-nasehat tersebut dapat berupa pepatah, syair-syair Buton (kabanthi) dan juga dalam bentuk cerita baik sejarah maupun legenda.
Legenda pantai katanaa merupakan sebuah cerita rakyat yang mengisahkan putri  bangsawan yang berubah menjadi batu atas sumpahnya sendiri. Dari legenda tersebut kira-kira dapat di ambil nilai sebagai berikut:
-          Kejujuran merupakan suatu keharusan meskipun itu pahit untuk dikatakan
-          Selalu menjaga ucapannya
-          Segala keburukan pasti ada balasannya tidak memandang status ningrat atau bukan
-          Penyesalan akhir yang tiada berguna
 Disinilah letak kearifan lokal orang Buton yang ditanamkan kepada anak cucunya untuk selalu menjaga kejujuran. Terutama bagi warga Kampung Burukene, Lawela dan Wabagere yang melakukan aktifitas di pasar Katanaa Kampung wabagere sangat memahami legenda Pantai Katanaa. Legenda tersebut membuat mereka takut untuk melakukan kebohongan dalam transaksi perdagangan dan selalu menjaga kejujuran. Rupanya orang tua Buton terdahulu tahu jika pasar merupakan tempat yang terkadang penuh dengan kecurangan dan manipulatif. Mereka sadar, hingga menciptakan sebuah legenda yang mencerminkan keburukan dari ketidakjujuran untuk menjadi sebuah pegangan, tidak hanya pada saat berinteraksi pada sesama masyarakat tapi juga menjadi nilai-nilai yang harus diperjuangkan.


Makassar, 25 Juli 2011
Rusman Bahar LM


Sumber...
-          Wikipedia
-          Orang tua yang saat kecil selalu menjual di pasar Katanaa, beliau selalu menceritakan kisah ini kepada saya.
[ Read More ]

BATU YANG TERSUSUN DI ATAS BATU CADAS

 
Adalah sebuah kisah yang ingin kusampaikan
Agar orang-orang sesudah kamu  mengingat apa-apa yang telah dilakukan
Ketika semuanya berkumpul dengan hati yang bertanya-tannya
Sungguh pilu mendengar khabar dengan jiwa yang hampa
Haruskah kehancuran negri ini terjadi
Dan musibah segera tumpah diatas negeri ini
Mereka yang sedih bertanya-tanya kepada siapa mereka mengadu
Atas rasa takut yang menggebu
Ataupun kengerian yang turut menyertainya
Namun bukanlah alasan untuk mereka berpaling daripadanya

Dan ketika seruan itu datang kepada mereka-mereka
Wahai kalian semua yang berlari tanpa arah yang dituju
Ajaklah sekalian kepada istri-istri dan anakmu semua
Berbuatlah engkau sesuatu yang dapat menjaga mereka dan negerimu
Seperti mutiara yang selalu terlidung oleh cangkangnya
Layaknya karang yang tak hancur diterjang ombak yang menderu
Sampaikanlah berita kepada orang-orang yang akan kemari dengan kebenciannya
Kepada orang-orang yang ingin merampas tanah, harta dan keluargamu
Sesungguhnya kami adalah orang Buton
Orang yang selalu menjaga keluhuran negeri bawah angin

Segeralah ayunkan tongkat-tongkat itu dengan sekuat-kuat tenagamu
Buatlah batu-batu itu menjadi bepecah-pecah dengan iramamu
Janganlah berhenti walau keringat telah membanjiri tubuhmu
Keringat yang  menceritakan betapa engkau mencintai negerimu

Ajaklah semua penduduk negeri ini membentuk batu-batu itu
Batu-batu yang akan menjaga apa yang kamu sayangi
Batu-batu yang menjagamu diantara orang-orang yang ingin mengambil hakmu
Batu yang berada untuk melindungi sebuah negeri

Ketahuilah bumi
Walaupun tampak tubuh-tubuh itu mulai kering dan pasi
Diantara rasa haus yang sangat-sangat dan letih
Sedangkan airmata tak berhak tumpah ke tanah
Sedikitpun tidak menghilangkan sayangnya terhadap sebuah negeri

Maka susunlah batu-batu itu dengan tuas
Batu-batu yang tersusun diatas batu-batu cadas
Lalu Satukanlah batu-batu itu dengan putih telur agar tak lepas
Dengan begitu mereka akan menjadi kuat dan keras
Sampai tiba batu terakhir membuat kamu terbebas

Beritakanlah kalian
Sesungguhnya kami adalah orang Buton
Orang yang selalu menjaga negeri dengan keluhuran

Sebuah Benteng karang yang megah tercipta untukmu
Dan dinding-dinding yang melindungi harta, keluarga dan Negerimu
Dari mereka yang datang dari Timur dengan membawah amarahnya
Dan mereka yang datang dari Barat dengan sombong-angkuhnya
Adalah Benteng Kesultanan Buton yang agung
Dengan itulah kalian bisa tenang dan menang

Kini...
Mereka yang datang sesudah kalian dengan cara beramai-ramai
Dengan bergandengan antara mereka anak dan istri
Dengan senyum, tawa dan rasa bangga terhadap negeri ini
Merasakan waktu seolah berpulang kembali

Meskipun mereka tidak bisa membayangkan tabah wajah-wajah kalian
Namun mereka bisa menyaksikan kekuatan kalian
Meskipun Mereka tidak mampu merasakan kesabaran kalian
Namun mereka terkagum atas kemampuan kalian
Sesungguhnya kami adalah orang Buton
Orang yang selalu menjaga negeri ini dengan keagungan

Kusampaikan berita ini kepada  semua yang datang sesudah kalian
Sesuatu yang lebih besar sesungguhnya hikmat daripada itu
Dari kalianlah hingga makna ini mereka dapatkan
Makna yang menjaga hati-hati dengan keluhuran yang satu
Kalian yang lalu berada untuk menjaga negeri Buton, dan
Mereka yang kini berada untuk menjaga jiwa Kebutonan
Semoga mereka memahami akar yang ditanamkan

Adalah batu-batu yang tersusus diatas batu cadas
Laksana batu-batu itu adalah kebaikan yang dikumpulkan
Maka batu cadas itu adalah landasan Imannya
Sesungguhnya mereka direkatkan putih telur sebagai amal ibadahnya
Maka Harta, anak dan Istri adalah harga dirinya
Dan apabila Keringat itu adalah jerih payahnya
Maka Negeri yang terlindungi adalah dirinya
Dan ketahuilah
Bahwasnya Benteng Buton adalah jiwa KeButonan itu sendiri
Dengan begitu mereka bisa mangambil makna daripadanya
Sesungguhnya kami adalah orang Buton
Orang yang selalu menjaga keluhuran hatinya

Rusman Bahar LM
Makassar, 29 maret 2011
[ Read More ]

AKULTURASI BUDAYA ORANG BUTON


Perpaduan Hindu-Islam dan Bangsa Asing


Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya. Kebudayaan tersebut kemudian melebur menjadi satu menghasilkan kebudayaan baru tetapi tidak menghilangkan kepribadian/sifat kebudayaan aslinya.
Adanya Interaksi antara masyarakat Buton dengan masyarakat dengan bangsa lain mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi yang menghasilkan bentuk-bentuk kebudayaan baru yang menjadi ciri Khas masyarakat Buton. Akulturasi ini didukung oleh Budaya Buton yang sejak dulu terkenal sebagai bangsa Bahari/pelaut .
Masuknya pengaruh Hindu dan Islam merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap didukung adanya proses Interaksi baik dalam perdagangan maupun budaya masyarakat Buton sebagai bangsa Bahari.  Hal ini berarti kebudayaan Hindu dan Islam serta pengaruh bangsa lain yang masuk ke Buton tidak diterima seperti apa adanya, tetapi diolah, ditelaah dan disesuaikan dengan budaya yang dimiliki penduduk Buton, sehingga budaya tersebut berpadu dengan kebudayaan asli Buton menjadi bentuk akulturasi kebudayaan Buton.
Proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Buton tanpa menghilangkan unsur-unsur asli, hal ini disebabkan karena:
1.      Masyarakat Buton telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Buton menambah perbendaharaan kebudayaan Buton.
2.      Kecakapan istimewa yang dimiliki masyarakat Buton atau local genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Buton.
Pengaruh kebudayaan hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Buton. Perpaduan budaya Hindu-Islam dan bangsa asing melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Buton.
Adapun Hasil akulturasi tersebut tampak pada
1. Akulturasi Bahasa
Masyarakat (Etnik Buton) memiliki beragam bahasa yang begitu beragam. Hingga sekarang dapat ditemui lebih dari tiga puluhan bahasa dengan berbagai macam dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta  memperkaya  perbendaharaan bahasa Buton.   Penggunaan bahasa Sansekerta ditemukan pada Istilah penamaan di peninggalan kerajaan Buton  pada abad 13 M, contohnya Ungkapan Sangia. Diduga sangia ini berasal dari Sanghyang (Sangsekerta= Beliau yang disucikan). Sangia (Buton) memiliki makna yang dimuliakan, keramat/suci. Makna ini melekat pada seorang Sakti/Raja/Sultan di Buton atau menunjukan tempat/daerah yang dianggap keramat atau suci. Misalnya Raja Buton V Rajamulae Sangia yi Gola  (menunjukan julukan Sultan) dan Sangia Galampa (menujukan suatu tempat). Pengungkapan sangia ini sekarang sering digunakan oleh orang tua untuk menakuti anak-anaknya untuk menunjuk tempat yang tidak boleh didatangi. Selain itu masih adanya ucapan “katauna baramana” dari orang tua jika melihat anaknya melakukan tindakan tidak sesuai dengan hukum dan ajaran Islam (“ajaran Brahmana=sangsekerta (Dewa/suci/) yang menjurus terhadap ajaran Hindu”).
Dalam perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M, banyaknya penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya pengaruh Islam dalam Kesultanan Buton. Seperti halnya sembah (sangsekerta) menjadi Somba (Buton), Sembah Hyang (sangsekerta) menjadi Sambahya (buton) yang bermaksna Sholat (arab) lalu menjadi Shola/Sholati (buton). Makna Somba lalu menjadi hormat/tunduk. Tidak hanya itu, seiring masuknya bangsa Eropa ke Buton pada abad ke-16, perkembangan  bahasa juga nampak terlihat pada istilah-istilah yang menyerap bahasa asing seperti ungkapan Baluara (buton) yang berarti Bastion yang diserap dari kata Bel’wer (bastion/gazebo), Kapita (buton) dari istilah Captein (belanda) atau panglima perang. Disamping itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa melayu.
2. Kepercayaan/Agama
Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Buton mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong masyarakat Buton mulai menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Misalnya masyarakat nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa laut Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan Banda yang terkenal ganas. Disamping itu masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam**** (tidak boleh disebut namanya/hanya diucapkan dengan cara berbisik)
Agama Hindu dan Islam yang berkembang di Buton sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme yang merupakan bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. Seiring masuknya Islam di Buton, Budaya Hindu mulai bergeser menjadi budaya yang Islami. Namun banyaknya ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan masyarakat Buton hingga sekarang bisa dipastikan mengandung unsur Sinkritisme. Adapun ritual-ritual dan pesta adat tersebut antaralain yaitu:
·         Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual masyarakat Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap tengah malam tanggal 12 Rabiul awal
·         Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.
·         Tuturiangana  Andaala yaitu Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makasar (liwuto) kepada Allah SWT,  atas keluasan rejeki yang terhampar luas disektor kelautan
·         Mataa yaitu ritual adat yang digelar masyarakat Buton etnik cia-cia di desa Laporo yeng merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh.
·         Pekande-kandea yaitu pesta syukuran masyarakat Buton kepada Allah SWT atas limpahan anugrah yang diberikan
·         Karia yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
·         Posuo (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.
·         Kabuenga, Haroa, Sambura’e dll
Masuknya Islam di Buton pada abad ke-15, yang di bawah oleh Ulama dari Patani juga telah meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu Fikih merupakan ilmu Islam yang mempelajari hukum dan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban umat terhadap Allah dan sesama manusia sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam.
Pada Abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton, yang dibawah oleh Sufi yang berasal dari Aceh. Tasawuf merupakan ajaran pokok Islam tentang keesaan Tuhan, Ilmu teologi/Ilmu ketuhanan/ Ilmu Tauhid. Tasawuf kemudian berkembang menjadi aliran kepercayaan yang berkembang di masyarakat Buton. Namun meskipun begitu, terdapat perbedaan yang Khas terhadap ajaran Tasawuf/tarikat yang berada di Patani/Aceh, misalnya masyarakat Buton mempercayai adanya Reinkarnasi, hal ini tidak ditemukan pada ajaran Tasawuf/tarikat yang berada di Aceh/Patani.
3. Sistem Pemerintahan  dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan
Wujud akulturasi dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan dapat dilihat dalam organisasi politik yaitu sistem pemerintahan yang berkembang di Buton setelah masuknya pengaruh Cina, melayu, dan Jawa di Buton.
Dengan adanya pengaruh kebudayaan tersebut, maka sistem pemerintahan yang berkembang di Buton yang semula cuma perkampungan adat (limbo) atau berdasarkan kesukuan, kemudian berubah bentuk menjadi sebuah Kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja yang berlaku juga oleh turunannya.
Raja di Buton ada yang dipuja sebagai Dewa atau dianggap keturunan Dewa yang keramat, sehingga rakyat sangat memuja Raja tersebut, hal ini dapat dibuktikan dengan pemistisan Raja pertama (Wa Kaaka;1332! M) oleh masyarakat Buton yang dipercaya lahir/hidup dalam Bambu. Tradisi asal usul kemudian mengalami penyimpangan  sesuai irama abad kehidupan masyarakat Buton yang berada dalam peradaban Islam. Diungkapkan bahwa Putri Wa Kaaka disebut Musaraffatul Izzati Al Fakhri berarti “Perempuan yang dimuliakan atau diagungkan”. Ia menarik garis keturunan dari Nabi Muhammad. Penarikan garis keturunan ini sekaligus mewarnai dan menandai segenap tata pemerintahannya di Buton yang bernuansa Islami.
Ke Khas-an Budaya Buton bahwa Pemerintahan Raja dan Sultan di Buton tidak bersifat mutlak dan turun-temurun seperti di Cina, Jawa atau kerajaan melayu lain, namun melalui prinsip pemilihan yang dilakukan oleh Dewan/Sara  yang menerapkan prinsip musyawarah.
Wujud akulturasi dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu adanya pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta/golongan.
Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana, kasta Ksatria, kasta Waisya dan kasta Sudra. Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh masyarakat Buton tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India/jawa/bali karena disana benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Buton tidak demikian, karena di Buton kasta hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Adapun penggolongan tersebut yaitu:
·         Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja/Sultan dipilih dari golongan ini.
·         Walaka, (elit penguasa) iaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan seperti mentri dan juga dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang akan menjadi Raja/Sultan berikutnya.
·         Papara atau disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka dapat  dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
·         Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki utang. meraka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
·         Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.

4.    Seni Budaya dan pengetahuan
Masuknya Budaya Islam pada masyarakat Buton sangat mempengaruhi kebudayaan Buton.  
Pengaruh bangsa bangsa lain dan Islam terhadap kesenian dan Budaya Buton terlihat jelas pada bidang-bidang dibawah ini:
A.     Seni Bangunan
Seni bangunan tampak pada bangunan Benteng, tempat ibadah (mesjid) dan Istana Kerajaan/Kesultanan. sebagai wujud percampuran antara seni asli bangsa Buton dengan Islam dan eropa.
Benteng Keraton Buton yang dibangun oleh masyarakat Buton pada abad Ke-16 M syarat dengan simbol Islam dan dibeberapa titik bergaya Eropa. Benteng Keraton Buton berbentuk huruf “dal” yang merupakan huruf terakhir dari kata Nabi Muhammad, disamping itu terdapat Benteng Sorawolio yang berbentuk huruf “alif” yang merupakan huruf awal dari kata Allah. Dan banyak lainnya. Gaya Eropa pada benteng Kesultanan Buton dapat ditemukan dengan adanya beberapa Bastion pada benteng Kesultanan Buton yang mirip dengan Bidak benteng pada permainan catur.
Mesjid dalam Kompleks Kesultanan Buton dalam pembangunannya juga banyak memiliki simbol-simbol. Ini menandakan kuatnya ajaran tasawuf yang dianut oleh masyarakat Buton yang penuh dengan makna-makna dan simbol tertentu, misalnya jumlah tiang yang digunakan, jumlah pintu, dll. Namun pada Kuba Mesjid agung Keraton Buton yang berbentuk limas menandakan adanya kemiripan dengan mesjid-mesjid yang dibangun oleh masyarakat Jawa.
Makna dan Simbol Islam juga terdapat pada bentuk Istana Kesultanan Buton. Istanah Buton dibuat bertingkat-tingkat sehingga dari depan tampak seperti orang yang sedang Sholat pada posisi Takbirahtur Ihram. Uniknya, ruangan depan dalam Istanah memiliki posisi lebih rendah di banding posisi ruangan belakang yang disimbolkan seolah-olah dalam posisi bersujud. Pada Istanah Juga terdapat Ukiran buah nenas dan Naga yang menjadi simbol Kesultanan Buton, dimana Nenas dan Naga merupakan Akulturasi antara budaya Buton dan Cina.
B.     Aksara dan Seni Sastra
Untuk aksara, masyarakat Buton menggunakan Aksara Wolio (Buri Wolio) yang merupakan perpaduan antara aksara Arab yang telah di ubah sesuaikan dengan Bahasa Buton. Penggunaan aksara Wolio ini telah digunakan sejak masuknya Islam di Buton dan mulai berganti dengan huruf latin pada awal abad ke-20. Hal ini dapat dilihat manuskrip dan Warkah-warkah Kesultanan Buton yang menggunakan Buri Wolio abad 16 sampai ke-19M. Aksara Wolio juga digunakan pada naskah Undang-Undang Kesultanan Buton yang dibuat pada masa Sultan ke-4 Buton Laelangi atau Dayanu Iksanuddin abad ke-16 M yang bernafaskan ajaran Tasawuf.
Pada Sastra, tampak pada karya-karya sastra Buton yang bernilai tinggi. Karya sastra yang berkembang pesat pada abad ke-18/19 yaitu berupa:
1.    Kabanti (Syair), yaitu karya sastra berupa syair yang berisi ajaran-ajaran ahklak dan Budi pekerti serta nasehat-nasehat dan juga sejarah. Contoh : Kabanthi Kanturuna Mohelana (bahasa Wolio= Lampunya Orang Berlayar), Kabanti Ajonga yinda Malusa (Kain yang tidak luntur), dll
2.    Hikayat, yaitu  cerita rakyat yang sudah ada sebelum masuknya Islam.
Contoh: Hikayat Sipanjonga
3.    Kisah sejarah yang terkadang memuat silsilah para raja suatu kerajaan Islam
Contoh: Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (sejarah berdirinya Kerajaan Buton dan Muna)
C.   Seni Tari
Selain seni Sastra, masyarakat Buton juga banyak mengenal seni Tari. Adapun seni Tari masyarakat Buton antara lain:
-          Tari Galangi, merupakan tari yang dilakukan oleh pengawal Kesultanan Buton
-          Tari Lariangi, merupakan tarian bagi masyarakat Buton di Wakatobi, tarian ini digunakan untuk menyambut para tamu Kerajaan.
-          Tari Lumense, tari ini menampilkan sejumlah simbol perilaku masyarakat Buton di Kabaena
-          Tari Merere, merupakan tari Tradisonal masyarakat Buton yang berada di Kulisusu. Merere adalah pelaksanaan Prosesi Adat untuk mengislamkan agar diberi pengetahuan ilmu keagamaan dengan diajarkan mengucakan dua kalimat sahadat sebagai petanda menjadi penganut Islam yang sejati.
-          Tari Honari Mosega,  Tari Lulo Aru, Tari Kalegoa dll.
D.     Seni Musik
Gambus merupakan alat musik tradisional asli khas Masyarakat Buton. Alat musik yang dipetik seperti gitar tersebut biasa digunakan untuk mengiringi tarian atau syair-syair kabanthi (syair Khas masyarakat Buton).
E.    Filsafat
Perkembangan Ilmu filsafat di Buton telah tumbuh pada masyarakat Buton yang kemudian berfungsi untuk mendukung pendalaman agama Hindu-Islam. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa landasan penubuhannya adalah nilai-nilai dan semangat yang mengacu pada “kesepakatan” dan “kebersamaan”. Prinsip dari nilai-nilai itu terwujud dalam falsafah yang disebut Pobinci-binci kuli. Jika prinsip “kesepakatan” membentuk nilai persatuan maka “kebersamaan” membentuk nilai “tenggang rasa”. Hubungan antara penguasa dan rakyat secara vertikal dan sesama rakyat secara horisontal dilandasi oleh kedua prinsip nilai tersebut. Pobinci-binci kuli terurai dalam ungkapan di bawah ini:
·         Pomae-maeka (Saling menghormati)
·         Pame-maasiaka (Saling menyayangi)
·         Popita-piara (Saling menjaga/pelihara)
·         Poangka-angkataka (Saling mengangkat derajat)

Adapun prinsip yang tertuang dalam falsafah kesultanan dalam arti politik, tertuang sebagai berikut:

·         Yinda Yindamo Arataa Somanamo Karo (Biarpun harta habis asalkan jiwa raga selamat)
·         Yinda Yindamo Karo Somanamo Lipu (Biarpun jiwa raga hancur asal negara selamat)
·         Yinda Yindamo Lipu Somanamo Sara (Biarpun negara tiada asal pemerintah ada)
·         Yinda Yindamo Sara Somanamo Agama (Biarpun pemerintah tiada asal Agama dipertahankan)
F.    Sistem Kalender
Sistem penaggalan pada masyarakat Buton diadopsi dari sistem kalender/penanggalan Arab (hijriah). Hal ini dapat dilihat pada warkah-warkah dan manuskrip Kesultanan Buton yang pada pembuatannya menggunakan penanggalan Hijriah. Namun ada yang unik terhadap penanggalan Buton, selain menggunakan tahun Hijriah, ternyata masyarakat Buton juga menggunakan Hari Pasaran pada beberapa naskah yang digunakan sebagai primbon atau buku ramalan. Tampaknya penaggalan Jawa tidak sertamerta hilang setelah masuknya budaya Islam yang begitu kental di Buton.

5. Peralatan Hidup, Ekonomi dan Teknologi

Masyarakat Buton dari sebelum masuknya agama Hindu-Islam sebenarnya sudah memiliki budaya yang cukup tinggi. Dengan masuknya pengaruh budaya Hindu-Islam di Buton semakin mempertinggi teknologi yang sudah dimiliki bangsa Buton sebelumnya. Pengaruh Alkuturasi Budaya terhadap perkembangan teknologi masyarakat Buton terlihat dalam bidang kemaritiman, perekonomian dan pertanian/perkebunan.
-       Perkembangan kemaritiman terlihat dengan semakin banyaknya kota-kota pelabuhan di Buton seperti Baubau, Pasarwajo, Waara, Wanci, Ereke dll, juga berkembangnya ekspedisi pelayaran dan perdagangan antar negara. Selain itu, masyarakat Buton yang awalnya baru dapat membuat sampan sebagai alat transportasi kemudian mulai dapat membuat perahu bercadik dengan bobot mencapai 500 ton.
-       Masyarakat Buton juga mempunyai alat tukar sendiri yang disebut dengan Kampua. Kampua atau mata uang Kerajaan Buton yang terbuat dari hasil tenunan putri-putri raja/sultan tersebut adalah satu-satunya mata uang yang masih beredar setelah Indonesia merdeka.
-       Budaya tenun di Buton telah ada sejak berdirinya Kerajaan Buton pada abad ke-14. Budaya menenun ini dilakukan oleh putri-putri Raja atau bangsawan di Kerajaan Buton.
-       Sebagai masyarakat bahari, pada awal abad ke-20 komoditi utama yang menjadi andalan untuk di ekspor yaitu tripang, kulit penyu, agar-agar, mutiara, dan sirip ikan hiu. Juga beberapa hasil perkebunan terutama Kopi.
-       Pada awal abad ke-20, masyarakat buton telah melakukan usaha pertambangan berupa aspal yang produksinya mencapai 20.000 ton pada tahun 1938.
-       Dalam bidang pertanian, tampak dengan adanya pengelolaan sistem irigasi yang baik mulai diperkenalkan dan berkembang, pola bertani dan sistem pertanian pada masyarakat Buton dibawah oleh masyarakat Bugis dan Toraja, walaupun demikian masyarakat Buton kurang memiliki perhatian pada sistem pertanian.

Demikianlah Akulturasi Budaya masyarakat Buton yang begitu modern dan terus mengikuti perkembangan zaman. Akulturasi tersebut membentuk karakter dan ciri Khas dalam budaya dan perkembangan masyarakat Buton yang bertahan hingga sekarang.


Rusman Bahar LM
Makassar 6/2/2011
[ Read More ]

MENGHIDUPKAN KEMBALI KESULTANAN BUTON


 “KESULTANAN BUTON DALAM BINGKAI DEMOKRASI REPUBLIK INDONESIA

Sebuah pertanyaan yang seharusnya mampu dijawab oleh masyarakat Buton dan begitu penting untuk dicarikan jalan keluar. Pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Seorang Dosen FKIP unhalu yang dimuat dalam kolom opini BaubauPost itu memberikan ruang kepada pembaca untuk besama-sama memikirkan “Siapa Sultan Buton Untuk FKN VIII 2012???”. Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh La Ode Balawa. Saya yakin, pertanyaan itu tidak dimaksudkan hanya untuk mengisi Kekosongan Sultan Buton dalam rangka mengikuti Festival Keraton Nusantara saja, namun lebih dari  itu, melainkan jabatan Sultan dan segala perangkatnya yang berkesinambungan dan terus berjalan menjadi sebuah alur kebudayaan baru tanpa menghilangkan sifat asli KeButonan itu sendiri,  serta mampu merangkul kembali peradaban Kesultanan yang sudah mulai terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil yang  berdasarkan etniksentrik dan kedaerahan. Lalu bisakah kita menyusun kembali peradaban Kesultanan Buton itu sendiri terutama dalam lingkup wilayah NKRI yang tidak memperbolehkan adanya negara didalam sebuah negara? Jawabannya, Pasti Bisa. Bagaimana caranya? Inilah yang harus kita pikirkan bersama, namun sebagai orang Buton saya mencoba menyumbangkan pendapat saya yang dengan ini semoga bisa memberi pandangan baru yang dapat menjadi sebuah Solusi, namun Tidak menutup kemungkinan dari pembaca bisa menawarkan alternatif yang lebih baik lagi
Sebelum menjawab pertanyaan Kritis yang diugkapkan Bapak La Ode Balawa dan juga ditanyakan oleh Sebagian besar pemerhati Budaya Kesultanan Buton, terlebih dahulu, kita harus memikirkan bagaimana cara kembali merangkul daerah-daerah lain yang mulai terpinggirkan dari peradaban Kesultanan Buton, lalu benih perpecahan yang telah tumbuh dalam wilayah Kesultanan Buton harus diminimalisasi bila perlu dihilangkan.
A.  Upaya meminimalisasi Perpecahan di Kesultanan Buton
Sebelum kita bertanya bagaimana menghidupkan lagi kebudayaan Kesultanan Buton, maka upaya untuk menyatukan kembali daerah-daerah yang pernah menjadi wilayah Kesultanan Buton adalah hal yang sangat penting dan wajib dilakukan. Jangan sampai, kebesaran dan Keagungan Kesultanan Buton hanya didengung-dengungkan oleh masyarakat yang ada di Kota Baubau saja. Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu:
1.      Membangkitkan Rasa KeButonan, Menghilangkan Ego, dan Menyatukan persepsi, Siapakah Orang Buton Itu?
Bermula sejak masuknya Kesultanan Buton kedalam wilayah NKRI, dimana akibat luasnya wilayah Kesultanan Buton membuat para pemimpin-pemimpin lokal melakukan pemekaran menjadi beberapa kabupaten. Pemekaran inipun tidak di manage sedemikian rupa lalu benih Perpecahan itupun mulai tumbuh, misalnya Sebagian orang Kabupaten bombana, yang merasa punya kerajaan sendiri yang tidak terkait dengan Kesultanan Buton, Sebagian Orang Muna (suku muna), dan juga dulunya sebagian orang Buton Utara merasa orang-orang Buton tidak menganggap wilayah mereka adalah bagian dari Kesultanan Buton malah kadang sebagian orang  Baubau sendiri sekarang menganggap dirinya bukan lagi orang Buton melainkan orang Baubau. Inilah yang menjadi persoalan, ada daerah yang menganggap mereka bukan Wilayah Kesultanan Buton namun ada juga justru sebaliknya. Selain rasa kedaerahan, rasa kesukuan juga begitu sangat tinggi, jika tidak diolah, perpecahan berdasarkan suku ini bisa jadi sangat merugikan bagi kelanjutan Kebudayaan Kesultanan Buton. Bagaimana cara menyatukan lagi mereka yang merasa terpisahkan oleh Kesultanan Buton? ya, kita harus kembali melihat dan memahami sejarah bagaimana kerajaan Buton itu didirikan. Semua sependapat bahwasanya kerajaan Buton didirikan bahkan bukan hanya dari penduduk asli Buton saja melainkan peran dari bangsa-bangsa lain yang semula membentuk perkampungan di Pulau Buton. mereka yang berasal dari melayu, jawa, cina mempunyai andil besar dalam membangun peradaban Kesultanan Buton, namun mereka tidak mengatasnamakan suku atau bangsa mereka, yang ada hanyalah Kerajaan Buton/bangsa Buton dengan segala alkulturasi Budayanya. Seiring berkembangnya, Kerajaan dan Kesultanan Buton memiliki luas wilayah seperti yang kita kenal sekarang, maka cangkupan suku-suku yang berada dalam wilayah Kesultanan Buton pun juga semakin banyak dan kompleks. Jadi berdasarkan pemahaman sejarah diatas, orang Buton itu dimaksudkan bukanlah sebuah daerah atau pulau apalagi sebuah suku, namun sesungguhnya Orang Buton itu adalah gambaran penilaian terhadap sebuah bangsa.
Dengan demikian kita bisa mengerti siapakah orang Buton itu sesungguhnya? Mereka adalah orang yang lahir dari orang tua dimana ayah dan atau leluhurnya pernah menempati, hidup dan dibesarkan serta mempunyai keturunan dalam wilayah Kesultanan Buton, dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Buton itu sendiri, dengan dan atau tanpa kekuasaan seiring perkembangan dan peradaban sejarah Kesultanan Buton. Dengan sedikit mengurangi ego, maka tidak ada lagi suku Buton tersendiri, suku muna tersendiri, bajo, maronene namun yang ada hanyalah Orang Buton.
Dengan pemahaman tersebut semua bisa bilang dan yakin “saya adalah orang Buton”. walaupun mereka bilang saya suku muna lahir di Tiworo, tapi saya adalah orang Buton. saya suku maronene, tapi saya orang Buton. Mereka boleh bilang saya lahir di Wakatobi atau Kendari, makassar, Papua, Kalimantan, Jawa, Malaysia dan dimanapun diwilayah Bumi ini, Tapi saya tetap Orang Buton. Pada akhirnya sekarang saya bisa bilang “Saya adalah Orang Buton, jadi saya mempunyai hak dan berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa Buton”. dengan demikian rasa kepemilikan terhadap Kesultanan Buton itu akan kembali muncul, sebagaimana rasa kepemilikan kita terhadap pahlawan pemersatu, yang tidak lain adalah Halu Oleo/Lakilaponto/Murhum.
2.      Memahami bahwa Kesultanan Buton itu bukan milik Kota Baubau apalagi milik pemerintah Kota Baubau, bukan milik Pulau Buton dan bukan pula milik Suku Buton tapi Kesultanan Buton adalah milik orang Buton.
Rasa kepemilikan orang Buton terhadap Kesultanan Buton yang jauh dari pusat Kesultanan (Kota Baubau) makin lama semakin terkikis. Ini menjadikan daerah lain lebih cenderung mengankat kebudayaan daerahnya sendiri yang telah berkembang sejak zaman Kesultanan Buton, namun keterkaitannya dengan Kesultanan Buton pada akhirnya lambatlaun dihilangkan. Begitupula Pemerintah Kota Baubau yang selau mengangkat kebudayaan Kesultanan Buton tanpa  melibatkan peranan daerah lain yang seolah-olah Kesultanan Buton hanya ada di Kota Baubau saja. Ada baiknya, Jika ada event-event yang menyangkut Kesultanan Buton, maka semua daerah berhak untuk ikut serta, dan event tersebut jangan hanya dilaksanakan di kota Baubau, namun juga didaerah-daerah yang dulunya pernah menjadi wilayah Kesultanan Buton. lain halnya jika event itu menyangkut kebudayaan lokal, misalnya kebudayaan wolio, tidak masalah jika itu hanya di adakan di Baubau. Selain itu, komunikasi antara pemimpin-pemimpin daerah yang dulunya pernah menjadi bagian dari Kesultanan Buton dalam rangka mengangkat Kebudayaan Kesultanan Buton harus lebih ditingkatkan, sehingga event-event mengenai Kesultanan Buton mendapatkan respon yang baik dari daerah lain.
3.      menyadari Orang Buton adalah milik Kesultanan Buton, bukan milik daerah lain, apalagi bangsa lain.
Kebudayaan Bahari Kesultanan Buton sudah terkenal sejak dulu dengan keberaniannya mengarungi samudra, kebudayaan bahari Kesultanan Buton telah tercatat dalam tinta emas oleh sejarah bangsa-bangsa lain. Tidak heran jika sebagaian besar pulau-pulau yang ada di Nusantara banyak terdapat orang Buton, terutama yang beprofesi sebagai pelaut atau nelayan. Walaupun tidak jarang ada juga yang menjadi orang penting namun identitas kebutonan itu tidak sertamerta hilang. Saya kadang melihat, falsafah Buton justru lebih banyak diimplementasikan oleh orang-orang Buton diluar sana dibanding orang-orang Buton  yang ada di Baubau, namun kadangkala keberadaan mereka hanya dipandang sebelah mata. Mereka tidak pernah dilibatkan dan melibatkan diri dalam acara-acara yang menyangkut dengan kebudayaan Buton, meskipun mereka mempunyai Forum-forum atau Kelompok Komunitas Buton didaerah tempat mereka berada yang memudahkan untuk mereka dihubungi. Sebagai orang Buton dirantauan, hak mereka dalam pengembangan dan pelestarian Budaya Kesultanan Buton sama besarnya dengan hak mereka-mereka yang berada di Kota Baubau, begitu pula kewajiban mereka. Namun kebanyakan Forum-forum tersebut kadangkala hanya untuk digunakan demi kepentingan politik daerah setempat dan tidak untuk mengangkat kebudayaan Kesultanan Buton.
4.      Memahami bahwa undang undang Kesultanan Buton adalah undang-undang yang fleksibel
Sejak Kerajaan Buton didirikan, Undang Undang Kerajaan Buton sudah ada, meskipun kemungkinan Undang Undang itu baru berupa ucapan lisan dari seorang raja. Undang-undang tersebut kemudian berevolusi setelah Buton mengubah statusnya dari Kerajaan menjadi Kesultanan. Setelah masa Kesultanan ke 4 Dayanu Iksanuddin, Undang-undang tersebut Kemudian ditulis dalam bentuk kitab yang berlandaskan Martabat Tujuh. Seiring perkembangan dan kemajuan Intelektual-intelektual Islam di Buton,  Kemudian Undang-undang tersebut kembali mengalami perubahan pada masa Sultan Muhammad Idrus yang menerapkan sitem syariat Islam secara penuh.
Melihat perkembangan Undang-Undang Kesultanan Buton yang selalu mengikuti perkembangan zaman, tidak menutup kemungkinan Undang-Undang Kesultanan Buton dapat disesuaikan dengan keadaan masa kini (dalam wilayah NKRI). Tidak bermaksud untuk merubah Undang-undang tersebut, namun penyesuaian ini bisa dilakukan dengan membuat peraturan-peraturan baru tanpa mengesampingkan peranan lembaga-lembaga Kebudayaan Buton (harus dengan persetujuan lembaga). misalnya dalam hal ini, masa jabatan Sultan harus dibatasi secara periodik. Contoh lain, dululunya Kesultanan Buton Cuma mengenal empat wilayah Baratha, ini kemudian bisa di sesuikan dengan Jumlah Kabupaten yang ada diluar Kota Baubau.
5.      memberikan Kesempatan yang sama tiap  daerah/kabupaten untuk mencalonkan putra terbaik daerahnya untuk dipilih menjadi Sultan Buton dan atau perangkat Kesultanan lainnya, yang dulunya berada dalam wilayah Kesultanan Buton.
salah satu cara terbaik untuk kembali merangkul daerah-daerah lain diluar pulau Buton, yaitu keberadaan Sultan yang tidak harus dimonopoli oleh golongan yang berada di Baubau. Sebaiknya, Sultan yang dipilih selain secara periodik, juga secara bergilir dibeberapa kabupaten lainnya. Dengan kata lain, Semua Kabupaten mempunyai hak yang sama untuk mencalonkan putra terbaiknya menjadi Sultan Buton. Misalnya Sultan sekarang berasal Baubau, maka periode berikutnya dari wakatobi, kemudian Bombana, Muna dan seterusnya. Sehigga kegiatan yang menyangkut Kebudayaan Kesultanan Buton, pada akhirnya selain dapat dilaksanankan di luar Kota Baubau, dapat dilaksanakan di daerah lain. Namun disini ditekankan, pelantikan Sultan harus tetap dilakukan di Baubau sesuai dengan peraturan Undang-Undang Kesultanan Buton yang juga harus dihadiri perwakilan dari setiap Kabupaten yang dulunya berada dalam wilayah Kesultanan Buton.

B.       Menyusun Kembali Struktur Kesultanan Buton demi mengangkat dan mempertahankan Kebudayaan, bukan untuk mencari Kekuasaan.
Saya membayangkan, bagaimana sejarah pendiri-pendiri Kerajaan Buton saat melakukan pertemuan di Wolio kemudian menetapkan Raja pertama mereka Wa Kaakaa itu dapat terulang lagi oleh pemimpin-pemimpin yang ada sekarang (Bupati dan Walikota), namun dalam rangka menghidupkan kembali Kesultanan Buton yang telah lama mati Suri. Ini pastinya akan menjadi sejarah yang manis dalam perjalanan perkembangan Kesultanan Buton. oleh karena itu dalam rangka mempertahankan Kesultanan Buton untuk menjaga Kebudayaan, sekaligus mencoba menjawab pertanyaan dari Saudara La Ode Balawa, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:
1.      menghidupkan kembali kelembagaan Sara (Dewan)/lembaga adat
Dalam sejarahya di Kesultanan Buton, kelembagaan Sara atau Dewan memiliki tugas dalam penentuan, penetapan dan pengangkatan seorang Sultan.  Dewan/Sara (badan legislative) terdiri daripada semua bobato (kaomu) dan bonto (walaka). Pemilihan  Sultan yang baru ditetapkan Jauh sebelum seorang Sultan wafat, berhenti atau diberhentikan, Bonto Sio Limbona (“Menteri Yang Sembilan”)  mengamati putera-putera dari ketiga golongan kaomu tersebut (Kamboru-Mboru Talupalena). Semua bobato dan bonto diberi sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie untuk diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang. Namun, jumlah itu bertambah seiring dengan pemekaran wilayah kadie. tercatat jumlah bobato 57 orang.
Membentuk Dewan Sara merupakan hal yang penting jika ingin menghidupkan kembali Kesultanan Buton karena tugas dan wewenangnya. Namun jika ini yang kembali dilakukan, maka akan sulit jika dewan ini dibentuk dalam lintas Kabupaten, lain halnya jika Dewan Sara hanya ada di Baubau saja. Oleh karena itu harus ada penyesuaian. Misalnya, ditiap kabupaten didirikan suatu lembaga adat yang memiliki wewenang selain menjaga Kebudayaan setempat dan kebudayaan Buton, lembaga tersebut juga mencetak kader dan menyaring calon Sultan yang siap dilantik oleh dewan sara, khusus untuk di Kota Baubau dewan sara (Siolimbona) harus ada dan mempunyai fungsi yang sama seperti zaman Kesultanan dulu.
Lembaga adat yang ada diluar Kota Baubau tersebut berisikan orang-orang yang memahami adat istiadat daerahnya dan juga Kesultanan Buton yang beranggotakan ditiap kecamatan atau kelurahan termasuk para parabela yang masih bertahan hingga sekarang. Tentu saja Bupati atau walikota dalam hal ini menjadi pembina/penasihat dalam lembaga tersebut.
2.      Proses penseleksian Sultan dan Perangkatnya
Jika lembaga adat seperti poin 1 dapat dibentuk, maka untuk proses penseleksian Sultan dapat dilakukan oleh lembaga adat ditiap kabupaten atau Kota tersebut jauh sebelum Sultan berakhir masa jabatannya. Namun seperti yang diutarakan sebelumnya, masa jabatan Sultan harus secara Periodik dan bergilir ditiap kabupaten dan Kota, misalnya hanya menjabat selama 5 tahun. Untuk kabupaten/Kota yang belum mendapatkan giliran mencalonkan Sultan, proses penseleksian tetap harus dilakukan untuk menempatkan calon tersebut pada posisi selain Sultan, misalnya Sapati, Kenepulu dll. Namun hal ini ditunjuk langsung oleh seorang Sultan yang telah dilantik.
Dalam menjalankan tugasnya Bonto Sio Limbona berpegang pada Kitab UUD Martabat tujuh dan Isdatul Azali. Dalm kitab tersebut terdapat criteria dan syarat-syarat menjadi Sultan. Adapun kriteria Sultan adalah sebagai berikut:
a.    berasal dari golongan kaomu,
b.    harus laki-laki;
c.    memiliki sifat-sifat: sidiq yang berarti benar, tabligh berarti menyampaikan segala hal yang bermanfaat; amanah artinya terpercaya, dapat memegang janji; fathanah artinya lancar dan fasih berbicara. Tidak takabur, tidak sombong, sehat jasmani dan rohani serta mencintai dan dicintai orang banyak.
d.    Sehat jasmani dan rohani,
e.    mengerti tugas dan fungsi pokok seorang Sultan, tugas Sapati dan aturan tentang pejabat tinggi negara.

Jika ada pertanyaan apakah jabatan Sultan harus dari golongan Kaomu? Maka saya menjawabnya harus. Bukan untuk menafikan peranan Orang Buton lainnya, namun ini untuk menjamin Budaya Kesultanan Buton tetap seperti aslinya, sebab jabatan Sultan disini bukan untuk mencari Kekuasaan tapi untuk menjamin kebudayaan agar tetap bertahan. Namun persyaratan tersebut masih dimungkinkan untuk dibuatkan peraturan tambahan, misalnya selain 5 poin diatas, Calon Sultan juga harus memahami sejarah Kesultanan Buton dan mengetahui adat istiadat Kesultanan Buton, selain itu pemegang jabatan tersebut tidak boleh terlibat dalam praktek Politik praktis.
Lalu bagaimana nantinya jika terjadi krisis kader? selama ada Lembaga adat/Dewan Sara dan berjalan baik, maka kader akan selalu ada.

3.      Alternatif pemilihan Sultan
Banyak yang bertanya siapakah penerus Sultan Selanjutnya? Sebelum dibentuknya Lembaga Adat (dewan/Sara) Kesultanan, maka kita janganlah terburu-buru untuk menanyakan siapa penerus Sultan tersebut, sebab keberadaan Sultan yang menjabat sekarang (dr.Izat Manarfa,Msc) adalah sangat penting untuk menjaga eksistensi Kebudayaan Buton. Walaupun saya yakin jabatan yang baginda pikul belum mendapat legalitas dari Sara (dewan), namun keberadaannya dapat mencerminkan Sultan sesungguhnya. Saya membayangkan jika Beliau-beliau tidak mengambil peran ini (LM manarfa Alm, Halaka manarfa Alm, dan Izat Manarfa), maka akan terjadi konflik berkepanjangan untuk menentukan posisi Sultan yang justru membawa pada kemudaratan, dan bisa dipastikan Kesultanan Buton akan benar-benar mati. Biarkanlah mereka bekerja menjaga eksistensi Kesultanan Buton, sampai ada lembaga adat yang bisa memastikan pengganti Sultan yang terbaik.

4.      Hubungan antara pemerintah dan Kesultanan
Seperti yang diutarakan sebelumnya, saya membayangkan Bupati dan Walikota berkumpul dalam satu wadah untuk membentuk lembaga adat (sara) disaksikan oleh pemuka-pemuka adat dan masyarakat untuk membangkitkan lagi Kesultanan Buton. jika peristiwa ini terjadi, maka apa yang menjadi pertanyaan selama ini akan dapat terjawab. Seperti yang saya maksud sebelumnya Bupati atau Walikota akan menjadi pembina/penasihat lembaga adat tersebut, sebab setiap kebijakan yang menyangkut pemerintahan adalah hak dari seorang Bupati atau Walikota, sedangkan yang menyangkut dengan kebudayaan Kesultanan maka harus mendapat persetujuan dari dewan, Sultan  dan pemerintah setempat.

C.     Penutup
Mungkin sebagian orang menganggap saya lancang karena berani bembahas suatu kesakralan adat istiadat dengan pengetahuan yang sangat dangkal. Pertanyaan yang sama pernah dilontarkan bahkan sebelum FKN yang dilaksanan di Gowa, namun sampai saat ini belum ada yang coba menjawab apalagi ditindaklanjuti. Namun jika ini dibiarkan terus, maka akan selalu ada pertanyaan yang sama tahun-ketahun namun tidak akan mendapatkan jawaban.
Saya mencoba memberanikan diri untuk memberikan penilaian atas pertanyaan tersebut, dengan harapan akan lebih banyak lagi pemikiran-pemikiran muncul dalam rangka menghidupkan lagi Kesultanan Buton. Namun apabila pemerintah dalam hal ini Bupati dan Walikota tidak melakuakn inisiatif untuk menghidupkan lagi Kesultanan Buton, maka apa yang menjadi harapan Orang Buton, hanya menjadi angan-angan belaka.
Karena Sahabat (Rusman Bahar) orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan artikel ini, maka jikalau ada salah pun melainkan maaf juga kepada pembaca. Tamat.
Makassar 0301 2011


[ Read More ]

UJUNG ANGIN

NEGERI BUTUNI;BUTON;BUTUNG; BOETON;BOETOENG;BOUTON;BOUTHON;BOUTHONEZE; BUTONESE SULTANATE KEAGUNGAN MAHAKARYA BUDAYA

Powered By Blogger