DARI KEKUATAN DAN DIPLOMASI
A.    Sepatah
 Kata
Kerajaan Buton yang berdiri sejak 1332 M, awalnya merupakan kerajaan yang kecil yang terdiri empat wilayah kekuasaan (Pata limbona), kemudian menjadi Sembilan Wilayah Kekuasaan (Sio Limbona) yang dipimpin masing-masing oleh seorang Mentri (Bonto). Seiring perkembangan waktu, wilayah kerajaan/kesultanan Buton semakin luas hingga terdiri dari empat kerajaan Barata (wilayah Otonomi dengan raja tersendiri namun tunduk pada Kerajaan/Kesultanan Buton dan bertugas melindungi Kedaulatan Buton) dan 72 wilayah Kadie.
Kerajaan Buton yang berdiri sejak 1332 M, awalnya merupakan kerajaan yang kecil yang terdiri empat wilayah kekuasaan (Pata limbona), kemudian menjadi Sembilan Wilayah Kekuasaan (Sio Limbona) yang dipimpin masing-masing oleh seorang Mentri (Bonto). Seiring perkembangan waktu, wilayah kerajaan/kesultanan Buton semakin luas hingga terdiri dari empat kerajaan Barata (wilayah Otonomi dengan raja tersendiri namun tunduk pada Kerajaan/Kesultanan Buton dan bertugas melindungi Kedaulatan Buton) dan 72 wilayah Kadie.
Dengan tercetusnya perjanjian 
“Persahabatan Abadi” tahun 1613 dengan Belanda, Kesultanan Buton yang 
sebelumnya di anggap merupakan wilayah kekuasaan dari Ternate atau Gowa 
oleh orang-orang Eropa ternyata memperlihatkan Kedaulatannya. Ini adalah
 Kepandaian Kesultanan Buton (La Elangi) dalam bidang Diplomasi, yang 
secara tidak lansung dengan adanya perjanjian tersebut, maka Kedaulatan 
Kesultanan Buton mendapat pengakuan oleh bangsa Eropa 
(Belanda-Inggris-Portugal) berikut wilayah dan kekuasaannya.
B. Etnik Buton
B. Etnik Buton
Masyarakat yang mendiami kesultanan 
Buton, terdiri atas beberapa Suku asli, adapun suku-suku tersebut 
adalah:
·         Suku Wolio yang mendiami Pulau 
Buton (pulau utama), bahagian selatan dan Kepulauan Tukang Besi dan 
pulau-pulau kecil di sekitarnya; 
·         Suku Maronene yang mendiam  Pulau 
Muna, Kabaena, Buton bahagian utara, Poleang, Rumbia di jazirah tenggara
 Sulawesi;
·         Suku laut bajoe (bajau) 
yang mendiami pesisiran pulaupulau Buton, Muna dan beberapa pulau yang 
lain (Yunus 1995a:23). 
Orang Buton memiliki semangat bahari 
dengan corak kebudayaan yang berkait dengan laut dan adalah satu 
kumpulan etnik perantau di Indonesia (Southon 1995; Abdul Munafi dkk. 
2002; Tenri & Sudirman 2002; Schoorl 1993:66-69).
C.     Struktur
 Masyarakat Buton
1.      Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat), iaitu 
keturunan  garis bapak dari pasangan raja pertama. Laki-laki dari 
golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa 
Ode.  
2.      Walaka, iaitu keturunan menurut garis bapak 
dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). 
Mereka termasuk elit penguasa. Melalui sistem tertentu, lelaki Kaomu boleh
 menikahi perempuan Walaka. 
3.      Papara atau disebut juga “orang gunung” (Encyclopaedie
 1917:16), iaitu anggota masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie
 (desa) dan masih merdeka. Mereka disebut juga budak adat (Schoorl
 1986) dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie,
 tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat. 
4.      Babatua (budak) yang berhak diperjualbelikan atau
 dijadikan hadiah 
5.      Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu
 dan walaka yang diturunkan darjatnya kerana melakukan 
kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya
 (Schoorl 2003:213-14)
D.    Luas Wilayah Kesultanan Buton
Wilayah Kesultanan Buton (121,40° dan 
124,50° LS;  4,20° dan 6,20° BT) meliputi gugusan kepulauan di jazirah 
tenggara Pulau Sulawesi, yaitu Pulau Buton (di sini terletak kota 
Bau-Bau dimana istana kerajaan dibina), Pulau Muna (atau Woena atau 
Pancano), Pulau Kabaena, Pulau-pulau kecil antara Pulau Buton dan Muna 
(yaitu Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Makassar 
[Liwotu], Kadatua [Kadatowang], Masiring, Bata Oga, Siompu, Talaga Besar
 dan Talaga Kecil), Kepulauan Tukang Besi (terdiri atas Pulau 
Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko), Poleang dan Rumbia di 
jazirah Sulawesi Tenggara, Pulau Wowoni, dan sejumlah pulau kecil 
lainnya yang terletak di sela-sela pulau tersebut yang tidak kelihatan 
di peta (Encylopaedie 1917:104-05; Zuhdi dkk. 1996:5; Yunus 1995a:22)
E.     Wilayah
 Buton 
a.       Wilayah
 kesultanan terdiri atas tiga bahagian (Yunus 1995a:v). 
1.      Wilayah Wolio atau keraton 
yangmenjadi pusat pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah
 kesultanan. Wilayah wolio hanya boleh dihuni golongan kaomu dan
 walaka (bangsawan). 
2.      “Wilayah Kadie” (wilayah di luar 
keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki golongan 
penguasa dan dihuni golongan papara. 
3.      kerajaan-kerajaan kecil yang disebut 
“wilayah Barata”, yangmemiliki pemerintahan sendiri tetapi tunduk
 ke bawah kekuasaan pemerintah pusat setelah ditaklukkan. 
b.      Ada
 empat wilayah kekuasaan Barata yang masingmasing dipimpin Lakina
 Barata dari golongan Kaomu, iaitu:
1.      Barata
 Muna yang berpusat di Raha, di pesisir timur bahagian tengah Pulau 
Muna;
2.      Barata Tiworo yang berpusat di Tiworo;
3.      Barata
 Kalingsusu (Kalincusu) yang berpusat di bahagian timur pulau Buton;
4.      Barata
 Kaledupa yang berpusat di Kaledupa (Yunus 1995:22).
Barata harus membela Kesultanan Wolio melawan 
musuh-musuhnya. Lebih jauh mengenai kewajipan barata terhadap 
Kesultanan Wolio (Buton), (Schoorl 2003:92).
Kekuasaan pusat dipegang golongan kaomu
 dan walaka yang berkedudukan di Keraton Wolio di Bau-Bau. 
Mereka menjadi penguasa yang tertinggi untuk ketiga-tiga wilayah itu (wolio,
 kadie dan barata). 
F.      Struktur
 Jabatan Pemerintahan
Struktur 
pemerintahan Buton bersumber pada sifat kemanusiaan Martabat Tujuh, yang
 tersusun ke dalam kepangkatan dan jabatan pelaksana secara hirarkis 
dari atas ke bawah. Susunan itu mengacu pada proses kejadian alam: 
Ketuhanan dan Kehambaan. Susunan itu tampak dalam proses kejadian Alam 
Ketuhanan dan Alam Kehambaan:
1. Alam Ketuhanan 
·         Ahdiah (La-Ta‘-Yun) = Zat = Sulthan
·         Wahdiah (Ta‘-Yun-Awal) = Nur Zat = Sapati
·         Wahidia (Ta‘-Yun-Tsani) = Nur Muhammad = 
Kenepulu
2. Alam Kehambaan: 
·         Alam Arwah = Nuthfah = Kapitalao
·         Alam Mitsal = Alaqah = Bonto Ogena
·         Alam Ijsam = Mudgah = Bonto 
Siolimbona/Bobato
·         Alam Insan = Jisim insan = Parabela
1)      Sultan
 sebagai penguasa yang tertinggi kerajaan itu dibantu beberapa pejabat 
yang tinggi di pusat dan pejabatpejabat di daerah. Secara umum, 
birokrasi Kesultanan Buton adalah seperti yang berikut:
2)      Pangka
 atau pejabat teras (rijksgroten)
 atau dewan swapraja yang disandang golongan kaomu dan walaka,
 yang terdiri daripada 
a)      sapati
 (kaomu), 
b)      kenepulu
 (kaomu), 
c)      lakina
 surowalio (kaomu), 
d)      lakina
 baadia (kaomu); 
e)      dua 
 orang kopitalao: kapitalao sukanayo dan matanayo (kaomu),
 
Kapitalao atau kapiten laut dalam bahasa 
Melayu adalah jabatan panglima perang di Kesultanan Buton. Kata matanayo
 bererti “dari matahari terbit” dan sukanayo bererti “menuju 
matahari terbenam”. Istilah itu dilekatkan kepada jabatan kapitalao dan
 bonto ogena untuk  penunjuk wilayah wilayah kerajaan di sebelah 
timur dan barat yang menjadi wewenang masing-masing (lihat Zuhdi dkk. 
1996:28; Shoorl 2003:82).
f)        dua
 orang bonto ogena (menteri besar): bonto ogena sukanayo dan
 matanayo(walaka).
3)      Sarana
 (Dewan) Wolio terdiri
 daripada semua bobato (kaomu) dan bonto (walaka).
 
Semua bobato dan bonto diberi
 sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie untuk 
diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang.
 Namun, jumlah itu bertambah seiring dengan pemekaran wilayah kadie.
 Manarfa (1948: 8) mencatat jumlah bobato 57 orang. Sembilan di 
antaranya disebut siolipuna, yang bererti sembilan negara kecil 
di bawah perintah seorang raja, dan membentuk sekutu asli (Schoorl 
2003:83). Mereka adalah Bontona Peropa, Bontona Baaluwu, Bontona 
Gundu2, Bontona Barangkatopa (mereka disebut patalimbona,
 ‘empat pemukiman’), Bontona Siompu, Bontona Wandailo, Bontona Rakia,
 dan Bontona Melai. Semua dijabat oleh golongan walaka (Schoorl
 2003:82; lihat juga Zuhdi dkk. 1996:30). 
4)      Siolimbona
 (sembilan kepala 
wilayah pemerintahan daerah) daripada golongan walaka yang 
menguasai adat dan bertugas menjaganya.
5)      Sarana
 hukumu adalah badan yang 
mengurus dan mengawasi masalah yang berhubung dengan ajaran Islam dan 
ibadah. Mereka adalah lakina agama, imamu (imam) dan hatibi
 (khatib). Kesemua mereka berasal daripada golongan kaomu.
6)      Kakitangan
 khas kesultanan meliputi bonto inunca atau kakitangan di istana (walaka);
 bontona lencina kanjawari, iaitu kakitangan khas yang membantu 
tugas-tugas tertentu (termasuk Bonto Isana dari golongan walaka),
Anggota Bonto Inunca iaitu: Bontona
 Dete, Bontona Katapi, Bontona Waberongalu, Bontona
 Kalau, Bontona Wajo, Bontona Sumbamarusu, Bontona 
Litao, Bontona Tanailandu, Bontona Galampa dan 2 orang
 Bontona Gampikaro (Sukanayo dan Matanayo). 
Kesebelas orang bonto ini bertugas menjaga istana dan mengawasi 
adat. 
Kakitangan  yang lain iaitu:
a)          jurubahasa
 (walaka)
Jurubasa (Jurubahasa) bertanggungjawab 
kepada syahbandar (Schoorl 2003:126, #8) Jurubicara di tingkat kadie
 dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton. Van den Berg (1939:470)
 menulisnya pangalasa. 
b)          kapita,sabandara
 (syahbandar) (kaomu) sebagai otoritas pelabuhan, 
Menurut Manarfa (1948:7) jabatan kapita
 dan sabandara (syahbandar) termasuk pangka, sedangkan
 Van den Berg (1939) dan Zahari (1977) berpendapat sebalikya. Jabatan syahbandar
 amat penting karena peran Buton sebagai pelabuhan transit bagi 
kapal-kapal dagang lokal dan asing yang berlayar dari 
pelabuhan-pelabuhan di bagian barat Nusantara (misalnya Surabaya dan 
Batavia) ke wilayah bagian timurnya (seperti Ternate dan Ambon). Di 
samping itu, jabatan ini penting, juga karena sumber nafkah orang Buton 
adalah perdagangan dan pelayaran dengan kepintaran yang cukup tinggi 
dalam membuat perahu dagang (Ligvoet 1878:9). Namun, seperti di beberapa
 kerajaan lokal lainnya di Nusantara, jabatan  syahbandar Buton 
juga termasuk kursi “basah” dan sarat dengan penyelewengan (Schoorl 
2003:103). 
c)         talombo
 yang membantu bonto
 ogena (menteri besar) sebagai penyampai maklumat dan pengumuman 
penting dari sultan, 
d)        pangalasan yang bertugas membantu bonto ogena dalam
 mengumpulkan pajak (weti). 
Pentadbiran
 harian Kesultanan Buton dijalankan sepenuhnya oleh pangka dengan
 Sultan sebagai pimpinan yang tertinggi. Namun, dalam urusan yang 
penting, antaranya diplomasi ke luar, unsur bonto dan bobato wajib
 diajak serta dan dibawa berunding.
G.    Tambahan
 Penutup
1)      Undang-Undang
 Dasar Kesultanan Buton
Gerakan  Islamisasi di Buton bermula 
daripada ketokohan raja dan dimantapkan dengan penyusunan undang-undang 
kerajaan berdasarkan ajaran Islam dengan tersusunnya Undang-Undang Dasar
 (UUD) Kesultanan Islam Buton itu disebut Martabat Tujuh dan Adat 
Istiadat Azali (Ida 1996 & Said 1984). UUD Kesultanan Buton ini 
lahir daripada jasa besar Sultan ke-4 La Elangi (1578-1615 M) Dayanu 
Ikhsanuddin yang dibantu orang keturunan Arab, Furus Muhammad. Seperti 
namanya, Martabat Tujuh berisikan dasar-dasar moral pemerintahan 
kesultanan yang berintikan tujuh ajaran pokok untuk mengatur etika hidup
 bermasyarakat dan bernegara dalam pemerintahan kesultanan 
Buton.Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh itu berasal dari konsep tasawuf
 Martabat Tujuh dari tasawuf Ibn ’Arabi (Noor 1996: 14) yang kemudian 
diubah ideanya untuk menjaga kepentingan politik dan pemerintahan sultan
 Buton. Dalam UUD, Martabat Tujuh itu telah berisikan syarat-syarat yang
 wajib dipenuhi calon sultan, seperti wajib sihat jasmani dan rohani, 
mengerti tugas dan fungsi pokok seorang sultan, tugas Sapati dan aturan 
tentang pejabat tinggi negara.( Abdullah Muhammad)
2)      Bahasa
 dan aksara Kesultanan Buton (Pogau Wolio/Buri Wolio)
Kesultanan Buton memiliki banyak ragam 
Bahasa, hampir disetiap wilayah Kadie kesultanan Buton memiliki bahasa 
tersendiri. Namun untuk mempersatukan keragaman tersebut, maka 
pemerintahan kesultanan Buton menggunakan Bahasa Wolio sebagai bahasa 
persatuan. 
Bahasa Wolio diklasifikasikan sebagai 
bahasa dari golongan bahasa Sulawesi Tenggara yang termasuk ke dalam 
golongan bahasa Austronesia Barat (Tsuchiya, Kato, dan Fukami eds. 
1991). Pada masa lalu, bahasa Wolio dipakai orang Wolio di pejabat 
kerajaan/kesultanan Buton sebagai bahasa pemerintahan, selain bahasa 
harian. Kini, bahasa Wolio dipakai orang Wolio, terutamanya di bekas 
istana kesultanan, iaitu Keraton Wolio dan sekitarnya. 
Aksara Wolio ditulis dalam Jawi Wolio. 
Dalam bahasa Wolio, Jawi Wolio disebut sebagai “buri Wolio”. 
Jumlah dan jenis huruf Arab yang digunakan untuk “buri Wolio” 
banyak kesamaan dengan huruf Arab yang digunakan untuk Jawi umum, iaitu 
terdiri dari 36 huruf. Namun, ada sedikit perbezaan dalam jumlah dan 
jenis huruf Arab untuk “buri Wolio” berdasarkan zaman 
pembuatannya, sehinggakan mulai saat ini hal tersebut masih lagi menjadi
 persoalan yang harus dikaji dengan lebih lanjut. Dalam bahasa Wolio, 
ada lima vokal tunggal (simple vowel ), iaitu a, i, u, e dan o. 
Untuk vokal a, i dan u, digunakan tanda vokal yang sama dengan tanda 
yang digunakan dalam bahasa Arab. Untuk vokal e, tanda vokal yang 
berbentuk seperti ‘v’ ditulis di bawah huruf, dan untuk o tanda ‘v’ 
ditulis diatas.
Tidak banyak masyarakat di Asia Tenggara 
yang telah mengembangkan teknik tulisan “Jawi non-Melayu/Indonesia”. 
Dari segi nilai langkanya, manuskrip Jawi Wolio adalah suatu yang sangat
 berharga. Sehingga ke saat ini, penyelidikan tentang manuskrip “Jawi 
non-Melayu/Indonesia” belum cukup (hiroko k. Yamaguchi, 2007,)
3)      Falsafah
 Buton
Social  orang Buton pra-Islam itu 
memiliki empat nilai seperti yang berikut:
·         Pomae-maeka:
 saling menghargai dan menyegani untuk 
menjaga kehormatan dan martabat sesama anggota masyarakat,
·         Poma-Maasiaka:
 saling mengasihi dan menyayangi sesama 
anggota masyarakat,
·         Popia-piara:
 saling menjaga perasaan sesama anggota 
masyarakat;
·         Poangka-angkataka:
 saling mengangkat derajat dan martabat 
sesama anggota masyarakat
Dalam kerangka menjaga kestabilan 
individu, sosial dan negara, orang Buton berpegang kepada falsafah 
perjuangan Islam yang membuat perekat komunikasi sosial-kemasyarakatan. 
Nilai yang terkandung dalam falsafah
perjuangan itu adalah boleh dihurai 
seperti yang berikut:
·         Bolimo harato somanamo karo 
Janganlah memikirkan harta benda, yang 
penting ialah keselamatan diri.
·         Bolimo karo somanamo lipu
Janganlah memikirkan diri, yang penting 
ialah Keselamatan negeri 
·         Bolimo lipu somanamo syarah
Janganlah memikirkan negeri, yang penting
 ialah Keselamatan pemerintahan/adat
·         Bolimo syarah somanamo agama 
Janganlah memikirkan pemerintahan/adat, 
yang penting ialah Keselamatan Agama
Dapat
 dipahami sesungguhnya Kesultanan Buton memandang Agama dalam hal ini 
agama Islam adalah diatas dari kepentingan segalahnya
4)      Raja
 – Raja dan Sultan Yang pernah berkuasa:
A. Raja-raja: 
1)         Rajaputri
 Wa Kaa Kaa 
2)         Rajaputri
 Bulawambona 
3)         Raja
 Bataraguru 
4)         Raja
 Tuarade 
5)         Rajamulae
 
6)         Raja Lakilaponto (Murhum)
B. Sultan-sultan: 
1)         Sultan
 (Lakilaponto) Murhum (1491-1537 M) 
2)         Sultan
 La Tumparasi (1545-1552) 
3)         Sultan
 La Sangaji (1566-1570 M) 
4)         Sultan
 La Elangi (1578-1615 M) 
5)         Sultan
 La Balawo (1617-1619) 
6)         Sultan
 La Buke (1632-1645) 
7)         Sultan
 La Saparagau (1645-1646 M) 
8)         Sultan
 La Cila (1647-1654 M) 
9)         Sultan
 La Awu (1654-1664 M) 
10)     Sultan
 La Simbata (1664-1669 M) 
11)     Sultan
 La Tangkaraja (1669-1680 M) 
12)     Sultan
 La Tumpamana (1680-1689 M) 
13)     Sultan
 La Umati (1689-1697 M) 
14)     Sultan
 La Dini (1697-1702 M) 
15)     Sultan
 La Rabaenga (1702 M) 
16)     Sultan
 La Sadaha (1702-1709 M) 
17)     Sultan
 La Ibi (1709-1711 M) 
18)     Sultan
 La Tumparasi (1711-1712M) 
19)     Sultan
 Langkariri (1712-1750 M) 
20)     Sultan
 La Karambau (1750-1752 M) 
21)     Sultan
 Hamim (1752-1759 M) 
22)     Sultan
 La Seha (1759-1760 M) 
23)     Sultan
 La Karambau (1760-1763 M) 
24)     Sultan
 La Jampi (1763-1788 M) 
25)     Sultan
 La Masalalamu (1788-1791 M) 
26)     Sultan
 La Kopuru (1791-1799 M) 
27)     Sultan
 La Badaru (1799-1823 M) 
28)     Sultan
 La Dani (1823-1824 M) 
29)     Sultan
 Muh. Idrus (1824-1851 M) 
30)     Sultan
 Muh. Isa (1851-1861 M) 
31)     Sultan
 Muh. Salihi (1871-1886 M) 
32)     Sultan
 Muh. Umar (1886-1906 M) 
33)     Sultan
 Muh. Asikin (1906-1911 M) 
34)     Sultan
 Muh. Husain (1914 M) 
35)     Sultan
 Muh. Ali (1918-1921 M) 
36)     Sultan
 Muh. Saifu (1922-1924 M) 
37)     Sultan
 Muh. Hamidi (1928-1937 M) 
38) Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
38) Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
Inilah Kerajaan/Kesultanan Buton, 
walaupun dalam sejarah nasional Indonesia, hampir tidak dikenal, namun 
bagi Bangsa Eropa, Buton adalah salah satu Kerajaan/kesultanan di 
Nusantara yang sangat diperhitungkan, karena kekuatan dan kepandaian 
berdiplomasinya. Buton memiliki andil yang besar dalam penaklukan 
kerajaan Gowa 1666-1669 dan Tahun  1835 Kerajaan Belanda memberikan 
penghargaan kepada Muhammad Idrus (Sultan ke-29 Kaimuddin I ;1824-1851) 
karena jasanya dalam membantu Belanda, mendamaikan perlawanan Kerajaan 
Bone terhadap Belanda (1824), dan turut membantu Belanda dalam 
menumpas perlawanan Diponegoro (1825-1830).
Oleh; Rusman Bahar 
LM  
Makassar 23 februari 2010
Makassar 23 februari 2010
Rujukan 
·         Abdul Munafi, La Ode dan Andi 
Tenri. 2002. Tradisi Perantauan Orang Buton: Suatu Kajian 
Strukturalisme. [Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik 
Universitas Dayanu Ikhsanuddin, Bau-Bau].
·         Abdullah Muhammad, Manuskrip Keagamaan 
dan Islamisasi di Buton Abad 14-19
·         Hiroko k. yamaguchi, 
2007, Manuskrip Buton: Keistimewaan dan Nilai Budaya
·         Suryadi 2007 Warkah-Warkah Sultan Buton 
Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi 
Universiteitsbibliotheek Leiden
·         Schoorl, Pim. 2003. Masyarakat, 
Sejarah, dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan.
·         Yunus, Abd. Rahim. 1995a. Posisi 
Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. 
Jakarta: INIS (Seri INIS XXIV).
·         Zuhdi, Susanto, G. A. Ohorella & M. 
Said D. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan 
Buton. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 




boss bagus sekali artikelnya semua tersusun dengan baik
Tingkat terus penyelusuran
Sumber apa yg anda pakai hingga mengatakan bahwa suku wolio ada di kepulauan tukang besi? Mhn d koreksi. Di naskah kapten hendrick joosten dan die sunda expedition mengatakan bahwa org2 d kepulauan tukang besi berbeda dri org yg ad d p buton. Mereka bermata pencaharian sbg bajak laut