YANG
TERTUA DAN TERABAIKAN
A. Sepatah kata
Sejarah Awal dibentuknya kerajaan Buton (tahun 1332) adalah merupakan penyatuan dari empat kerajaan kecil, namun yang istimewa disini yaitu Penunjukan Raja Buton pertama, Dimana raja pertama yang diangkat adalah seorang Wanita yang bukan berasal dari keempat kerajaan tersebut, sedangkan raja dari keempat kerajaan itu lalu diangkat menjadi mentri (Bonto). Dapat diartikan bahwa dimata keempat raja dan rakyat dari keempat kerajaan tersebut, mereka melihat adanya sifat kepemimpinan dan kewibawaan serta keteladanan yang dimiliki Ratu Wa Ka kaa yang melebihi mereka, sehingga ia dipilih secara aklamasi menjadi raja/ratu pertama bagi kerajaan Buton. Di samping itu, kerajaan Buton dengan Raja pertama adalah seorang wanita, ini menandakan antara wanita dan pria memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai seorang pemimpin. Pengangkatan Ratu Wa kakaa menunjukkan adanya system demokrasi yang luar biasa. Begitupula dengan pengangkatan raja ke-VI Lakilaponto (1491), yang selanjutnya menjadi sultan Buton pertama (1528) yang juga mengubah satus kerajaan menjadi kesultanan. Pengangkatannya sebagai sebagai seorang raja disebabkan karena Jasanya dalam menumpas Armada perang La Bolontio, yang kerap mengganggu kerajaan Buton.
Sejarah Awal dibentuknya kerajaan Buton (tahun 1332) adalah merupakan penyatuan dari empat kerajaan kecil, namun yang istimewa disini yaitu Penunjukan Raja Buton pertama, Dimana raja pertama yang diangkat adalah seorang Wanita yang bukan berasal dari keempat kerajaan tersebut, sedangkan raja dari keempat kerajaan itu lalu diangkat menjadi mentri (Bonto). Dapat diartikan bahwa dimata keempat raja dan rakyat dari keempat kerajaan tersebut, mereka melihat adanya sifat kepemimpinan dan kewibawaan serta keteladanan yang dimiliki Ratu Wa Ka kaa yang melebihi mereka, sehingga ia dipilih secara aklamasi menjadi raja/ratu pertama bagi kerajaan Buton. Di samping itu, kerajaan Buton dengan Raja pertama adalah seorang wanita, ini menandakan antara wanita dan pria memiliki hak dan kedudukan yang sama sebagai seorang pemimpin. Pengangkatan Ratu Wa kakaa menunjukkan adanya system demokrasi yang luar biasa. Begitupula dengan pengangkatan raja ke-VI Lakilaponto (1491), yang selanjutnya menjadi sultan Buton pertama (1528) yang juga mengubah satus kerajaan menjadi kesultanan. Pengangkatannya sebagai sebagai seorang raja disebabkan karena Jasanya dalam menumpas Armada perang La Bolontio, yang kerap mengganggu kerajaan Buton.
Tidak seperti kerajaan-kerajaan lain
yang terdapat di Nusantara dimana jabatan Raja/Sultan diwariskan. Namun
pada system pemerintahan kesultanan Buton, Sultan/Raja dipilih
berdasarkan sistem pemilihan Demokrasi, walaupun pada dasarnya Sultan
yang dipilih hanya berdasarkan satu golongan tertentu.
Sistem pemilihan ini disebut sebagai “demokratis-aristokratis”
(Yunus, 1995) atau system “pemilihan terbalas”. dengan calon yang
disiapkan dari golongan “kaomu” dengan tiga cabang keluarga (Kamboru-mboru
(lalaki) Talupalena = tiga tiang penyangga). Kerajaan/Kesultanan
Buton telah menunjukkan Sistem Demokrasi Jauh sebelum Negara demokrasi
Amerika lahir.
B. Peranan Struktur
Pemerintahan Kesultanan Buton
1. Kaomu dan Walaka
· Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat), iaitu
keturunan garis bapak dari pasangan raja pertama (raja putri Wa Kakaa).
Laki-laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan
wanitanya Wa Ode. Dari merekalah Sultan di pilih. Golongan Kaomu
juga memimpin empat kerajaan Barata (Wuna, Tiworo, Kaledupa dan
Kulisusu).
· Walaka, iaitu keturunan menurut garis bapak
dari Founding Fathers Kerajaan buton (mia patamiana),
mereka yaitu Si Panjonga, Si jawangkati, Si Malui, dan Si Tamanajo, yang
dari merekalah terbentuk empat kerajaan yaitu Kerajaan Baluwu,
Gundu-gundu, Peropa, dan Barangkatopa. Mereka termasuk elit penguasa. Melalui
sistem tertentu, lelaki Kaomu boleh menikahi perempuan Walaka.
2. Kamboru-Mboru Talupalena
Pada masa pemerintahannya, Sultan IV
La Elangi bergelar Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615) memanfaatkan
“kekuasaannya” untuk memposisikan kaomu sebagai golongan yang
“melahirkan” Sultan. Lebih jauh La Elangi melakukan kesepakatan dengan
Sapati La Singa dan Kenepulu La Bula untuk menetapkan tiga cabang dari
kaomu.
· La Elangi membentuk cabang bangsawan Tanailandu,
· La Singa membentuk
cabang keluarga Tapi-Tapi, dan
· La Bula membentuk cabang keluarga Kumbewaha.
Ketiga
cabang dari kaomu inilah yang dikenal dengan Kamboru-mboru
(lalaki) Talupalena secara harfiah berarti “Tiga Tiang Penyangga”.
Mereka yang terbaik dari ketiga cabang tersebut dan memenuhi saratlah
yang berhak menjadi Sultan.
3. Sapati ( perdana
Mentri)
Sapati Atau perdana
mentri merupakan jabatan tertinggi setelah Sultan. Sapati diangkat dari
Golongan Kaomu, dan dalam kekosongan pemerintahan, maka Sapatilah
yang mengambil alih urusan pemerintahan dan menyiapkan pengangkatan
Sultan yang baru.
4. Bonto Patalimbona
(Menteri dari Empat Permukiman)
Kerajaan Buton tumbuh dari empat
Kerajaan yang bersatu. Setelah Kerajaan Buton terbentuk, raja keempat
kerajaan tersebut di angkat menjadi menteri atau bonto yang
memimpin wilayahnya masing-masing. Keempat mentri (Bonto) tersebut
kemudian disebut dengan Bonto Patalimbona atau Mentri dari empat
pemukiman. Bonto patalimbona ini berasal dari golongan Walaka.
5. Bonto Sio Limbona
(“Menteri Yang Sembilan”)
Setelah terbentuknya Kerajaan Buton,
terjadi integrasi Perluasan kekuasaan Buton yang ditandai dengan
bergabungnya lima kerajaan kecil. Kelima Kerajaan kecil yang bergabung
dengan Kerajaan Buton itu adalah Siompu, Melai, Gama, Wandailolo, dan
Rakia. sehingga Buton terdiri sembilan wilayah kekuasaan yang dinamakan
dengan sio limbona. Kesembilan Wilayah kekuasaan ini
masing-masing dipimpin oleh Bonto (Mentri) darti golongan Walaka,
merekalah yang kemudian disebut sebagai Bonto Sio Limbona
6. Bonto-ogena
(Mantri Besar)
Bonto Ogena terdiri atas dua yakni Bonto Ogena
Matanayo (Timur) dan Sukanayo (Barat). Kata matanayo bererti
“dari matahari terbit” dan sukanayo bererti “menuju matahari
terbenam”. Istilah itu dilekatkan kepada jabatan kapitalao dan bonto
ogena untuk penunjuk wilayah wilayah kerajaan di sebelah timur dan
barat yang menjadi wewenang masing-masing (lihat Zuhdi dkk. 1996:28;
Shoorl 2003:82). Bonto Ogena berasal dari Golongan Walaka.
7. Pejabat/Pangka
Pangka atau pejabat teras (rijksgroten)
atau dewan swapraja yang disandang golongan kaomu dan walaka,
yang terdiri daripada
a. sapati
(kaomu),
b. kenepulu
(kaomu),
c. lakina
surowalio (kaomu),
d. lakina
baadia (kaomu);
e. dua
orang kopitalao: kapitalao sukanayo dan matanayo (kaomu),
f. dua
orang bonto ogena (menteri besar): bonto ogena sukanayo dan
matanayo(walaka).
8. Sarana
(Dewan) Wolio
Sara atau Dewan memiliki tugas dalam
penentuan, penetapan dan pengangkatan seorang Sultan. Dewan/Sara
(badan legislative) terdiri daripada semua bobato (kaomu)
dan bonto (walaka).
Semua bobato dan bonto diberi
sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie untuk
diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang.
Namun, jumlah itu bertambah seiring dengan pemekaran wilayah kadie.
Manarfa (1948: 8) mencatat jumlah bobato 57 orang. Sembilan di
antaranya disebut Siolimbona / Siolipuna, yang bererti sembilan
negara kecil di bawah perintah seorang raja/mentri, dan membentuk sekutu
asli (Schoorl 2003:83). Pemilihan Sultan yang baru ditetapkan
Jauh sebelum seorang sultan wafat, berhenti atau diberhentikan, Bonto
Sio Limbona (“Menteri Yang Sembilan”) mengamati
putera-putera dari ketiga golongan kaomu tersebut (Kamboru-Mboru
Talupalena).
C. Prosesi Pengangkatan Sultan Buton
1) Persyaratan/Kriteria
Sultan Sultan
Dalam
menjalankan tugasnya Bonto Sio Limbona berpegang pada Kitab UUD
Martabat tujuh dan Isdatul Azali. Dalm kitab tersebut terdapat
criteria dan syarat-syarat menjadi Sultan. Adapun kriteria sultan adalah
sebagai berikut:
· berasal dari golongan kaomu,
· harus laki-laki;
· memiliki sifat-sifat: sidiq yang berarti
benar, tabligh berarti menyampaikan segala hal yang bermanfaat; amanah
artinya terpercaya, dapat memegang janji; fathanah artinya lancar dan
fasih berbicara. Tidak takabur, tidak sombong, sehat jasmani dan rohani
serta mencintai dan dicintai orang banyak.
· Sehat
jasmani dan rohani,
· mengerti
tugas dan fungsi pokok seorang sultan, tugas Sapati dan aturan tentang
pejabat tinggi negara.
Tampak jelas bahwa dalam hal
sifat-sifat sebagai kriteria menjadi sultan adalah mengikuti sifat-sifat
Nabi Muhammad SAW.
2) Penetapan Sultan
Proses penetapan dimulai dengan
pencalonan terhadap mereka yang berasal dari golongan kaomu yang
disebut Kamboru-mboru Talu Palena. Tugas Siolimbona
semakin sibuk ketika seorang sultan baru saja wafat, berhenti, atau
diberhentikan. Sejak itu dalam waktu 120 hari, semua perlengkapan sultan
dipindahkan dari yang sultan terdahulu ke rumah Bonto Baaluwu
dan Peropa untuk disimpan. Selain kesembilan bonto tersebut masih
ada dua bonto yakni bonto-ogena Matanaeo
(Mantri Besar wilayah timur) dan Bonto Ogena Sukanaeo
(Mantri Besar wilayah Barat).
Selama sultan baru belum terpilih,
pemerintahan dijalankan oleh Sapati. Sementara itu setelah
melalui pertimbangan Siolimbona dan didapatkan calon sultan, maka
disampaikanlah kepada bonto-ogena. Kegiatan yang dipimpin oleh bonto
Baaluwu itu disebut “Buataka Katange” artinya
mengantarkan “bungkusan rahasia”. Bonto Baaluwu
menyampaikan demikian:
“Yikawfaaka
mami yingkitasiy, temanga andimiu oakamiu siy, padamo tapomapeelo
yikabumbu taluanguna, yincana kanaindana laki Wolio siy, modangiana siy”
(Yang menyebabkan kami datang pada tuan
bersama dengan adik-kakak tuan ini, sudah kami cari di bukit yang tiga
(artinya Kamboru-mboru Talu Palena), yang
ada sekarangini ialah ....)
Pada akhir kata-kata modanga siy
yang dimaksud ini adalah salah satu dari Tanailandu, Tapi-Tapi,
atau Kumbewaha. Tetapi dapat juga calon lebih dari satu.
Kemudian bonto ogena menjawab:
“Jou Bonto Baaluwu, siy kurango
kitamo, sepodano tabanculepo, takambojayi temanga opumia, pangka, tie
yarona pangka Tuan Bonto Baaluwu,”
(sekarang saya sudah dengar namun
saudara-saudara kembali dulu, berkonsultasi dengan para pejabat dan
mantan pejabat)
Para
pejabat dan mantan pejabat adalah dari golongan kaomu. Pada saat inilah
disebut “Akokompoakemea Siolimbona” harfiah berarti
“Calon sultan sudah dibuntingi oleh Siolimbona”. Lalu Siolimbona menemui
pejabat dan mantan pejabat, dengan mengatakan:
“Siy Jou, tumbaakamamiyingkita siy,
atumpu kami opumiu itapa ruatapana. Tamagimpi tamalalanda isapulu
ruangana. Kamondomami siy, tapesusuaka dala momakate, te dala momainawa
mosakalina kainawa”
(Sekarang Tuan yang menyebabkan kami
datang kepada tuan ini, ditugaskan oleh kakek kalian dari kedua
ujungnya. Kami mengalami kesempitan dan kegelapan terhadap calon sultan
Kesepakatan kami datang kepada tuan, memohon petunjuk ke jalan paling
terang).
Jawaban yang diberikan:
“Siy Jou, padamo Durango kita, mbaakanamo
siy kulawani kitamo. Kalalaki yinda taposala-sala, sopodona
yikama-kamata siy somini Laanu ...... Sabutuakanapo yiku yinda kupogaa
te Sara”
(Sekarang saya sudah dengar, sebab itu
saya akan jawab sekarang. Kebangsa-wanan kita tidak berbeda-beda, namun
menurut pengamatan saya sekarang ini hanyalah si .... Bagaimanapun juga
saya tidak akan bercerai dengan Sara)
Pada tahap ini disebut sebagai penetapan
calon yang disebut paso, artinya “paku”. Jadi sudah “dipaku” atau
“ditetapkan”. Tahap selanjutnya adalah fali Para calon pada malam
Jum‘at tengah malam pukul 00.00 melakukan shalat sunah istikharah untuk
menetapkan calon terbaik. Tahap selanjutnya pengumuman calon kepada
masyarakat luas, yang disebut sokai. Peristiwa ini dilakukan di Baruga
(balai pertemuan Sara).
Bontona Baluwu membisikkan kepada Bonto
ogena diteruskan kepada Kapitalao nama sultan yang telah
ditetapkan. “Kabolosina Laki Wolio La...”
(sambil menyebutkan nama sultan yang dimaksud). Kapitalao segera
mengumumkan secara terbuka. Adalah kapitalao Matanayo yang
mengumumkan dengan menghadap ke arah Timur. Sedangkan Kapitalao Sukanayo
menghadap ke arah Barat, Keduanya berdiri dengan menyandang” pedang di
dadanya. Kapitalo Matanaeo mengucapkan:
“Tarango, tarango, tarango bari-bari
kita siy! Yimondo akana Baluwu Peropa, te Sara bari-baria, kabolosina
Laki Wolio siy La ... Yincema-yincema mokowala-walana ngangarandana,
moko singku-singkuna fikirina, maimo yitanga-tanga siy bekulae -lae akea
hancu siy ... haa ... haa ... haa ... Tangkanapo ...!”
(Dengarkan, dengarkan, dengarkan kita
semua! Bahwa yang kita sepakati oleh Baluwu Peropa bersama
Sara semuanya, calon pengganti Sultan Wolio saat ini si ...
(nama disebut). Siapa-siapa yang ber-cabang-cabang hatinya dan masih
mem-punyai sudut pandangan atau pikiran lain, datanglah di tengah-tengah
ini untuk saya potong-potong dengan pedang ini... (sambil bersorak
haa...haa...haa... disambut sorak gemuruh hadirin)) .
3) Penabalan/Pelantikan
Sultan
Sebelum
tiba pada saat penabalan maka dilakukan serangkaian upacara sebagai
berikut. Pada Kamis sore menjelang penabalan, Batu Wolio (Batu Yigandang)
diberi hiasan kelambu. Pada malam harinya, genderang dan gong-gong
dibunyikan semalam suntuk.
Pada pagi Jum‘at itu, calon sultan
dimandikan dengan air yang diambil dari Tobe-Tobe, sebuah
desa 12 kilometer utara kraton. Ia dimandikan oleh Bonto Patalimbona
(Menteri dari Empat Permukiman). Setelah itu dibedaki dengan ramuan
khusus dari 120 macam bahan. Pada saat itu Bontona Baluwu mengatakan
kepada calon sultan dengan kata-kata:
“Rango
La Ode, teduku mumo, bangule muno, malala mumo, welalo mumo, tanda homo
La Ode! Boli upoande-ande akea otana siy tedaga moumbo, te lemangku
mokaza. Boli udawu-udawu akea kampurui yibaamu. Barangkalana
upoandeandeaakea otana siy tedaga moumba, udawu-udawu akea kampurui
yibaamu, maropu masoka, hancuru binasa, oanamu te anana Baluwu Peropa,
oyingkoo te Baluwu Peropa”.
(Dengarkanlah La Ode, milikmulah kencur,
milikmulah bangule, milikmulah serei, milikmulah welalo, saya beri tanda
kepadamu La Ode, jangan dipersahabatkan (persekong-kolan) tanah ini
dengan tamu-tamu dan para pendatang asing, Jangan berikan destar
dikepalamu (kehor-matan). Sebab jikalau Tuan persekongkolkan negeri ini
dengan pendatang asing, memberikan destar di kepala Tuan, maka akan
hancur binasa dan cucu Tuan bersama anak cucu Beluwu Peropa, Tuan
sendiri bersama Baluwu Peropa).
Setelah dimandikan, calon Sultan
dipakaikan seperangkat pakaian sarung, ikat kepala, dan baju kemudian
dibawa ke Mesjid. Maka dilaksanakan sholat Jum‘at yang dipimpin Imam
Masjid dengan khotbah berjudul “Khalakal Arwah”. Kemudian
tibalah: tata cara pelantikan (penabalan) sultan Buton dalam bahasa
Wolio disebut “Bululingiana Pau” (Pemutaran Payung
Kesultanan). Penabalan dilaksanakan pada hari Jum‘at di Mesjid Agung
Keraton, dengan mengundang seluruh pejabat kesultanan, Sarana Barata,
Sarana Kadie dan disaksikan masyarakat luas.
Payung kebesaran sultan dipegang oleh
seseorang yang memutarkannya di atas kepala calon Sultan sebanyak
delapan kali ke sebelah kanan dan sembilan ke sebelah kiri disertai
kata-kata pelantikan:
”Bake
akakomo Maulana, ouluna rahmatimu, bea peohi akamo Walaka te Kaomu”.
(Kukembangkan (payung) kepada Tuanku. Awan rahmat Tuanku untuk
melindungi Walaka dan Kaomu).
Maka sesudah peresmian itu, Sultan
kemudian dibawa ke Batu Popaua, yang terletak tidak jauh
dari mesjid untuk pemutaran payung kedua, yang dilakukan oleh Pata
Limbona.
Pada
prosesi ini kaki kiri Sultan dimasukkan ke dalam lubang “Batu Popaua”,
sambil menghadap Barat. Saat itu diputarkanlah payung kebesaran
sebanyak delapan putaran. Kemudian Sultan memasukkan kaki kanan ke dalam
batu yang sama, sambil menghadap Timur. Payung diputar lagi sebanyak
sembilan kali oleh Bontona Baluwu dengan ucapan
“Walu atuntu sio alagi, sapulu akamo
yingkoo La Ode”
(Delapan
lengkap, sembilan berkesinambungan, sepuluh dengan engkau La Ode)
Selesai pemutaran kedua payung kebesaran
itu, lalu kedua kapitalao berseru:
“Somba! Somba! Somba! Malape anana
Kaomu anana Walaka, anana Papara. Yincema-yincema yinda mosobana, maimo
yaroako siy beku tumpo-tumpoa, beku lae-lae akea hancu siy”
(Sembah! Sembah! Sembah! Baik anaknya
Kaomu, anaknya Walaka, anaknya Papara. Siapa-siapa yang tidak menyembah,
datanglah di depan agar saya potong-potong dan saya tebas dengan pedang
ini)
Maka kemudian Sultan diantar ke
Baruga untuk menerima somba dan selamat dari seluruh pejabat kesultanan,
Sarana Barata, Sarana Kadie, dan pejabat lainnya.
D. Penutup
Pemimpin Buton
menyadari kelemahan dari pengangkatan Sultan yang diwariskan, apabila
Sultan tidak mempunyai keturunan, bisa menyebabkan kekacauan dan
perebutan kekuasaan. Maka Sistem Demokrasi telah dibuat untuk
menghindari terjadinya kekacauan tersebut. Kesultanan Buton membentuk
pemerintahan yang Demokratis jauh sebelum Amerika lahir dua setengah
abad yang lalu. Sistem Demokrasi kerajaan/Kesultanan Buton ini lahir
sejak berdirinya di tahun 1332 sampai masa pemerintahan Sultan ke-38 Muhammad Falihi (1937-1960 M). Suatu
keagungan yang luar biasa.
Oleh Rusman Bahar LM
Makassar 8 maret 2010
Makassar 8 maret 2010
Rujukan
- Rabani La Ode, Hikayat Sipanjonga Sebagai
Sumber Sejarah Buton dan Konsekuensi Historiografisnya Oleh:
(Universitas Airlangga-Surabaya)
- Schoorl, Pim. 2003. Masyarakat,
Sejarah, dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan.
- Yunus, Abd. Rahim. 1995a. Posisi
Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19.
Jakarta: INIS (Seri INIS XXIV).
- Zuhdi,
Susanto, G. A. Ohorella & M. Said D. 1996. Kerajaan Tradisional
Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
- Tua Makmun dalam “Tata Cara Pengangkatan
Sultan Sultan Buton” dalam Wolio Moligi, Majalah (Kendari: Juli/Agustus
1999).
Komentar baru tidak diizinkan.