"Pahlawan dari Sulawesi 
Tenggara"
(La 
Ode Muhammad Falihi dan La Ode Manarfa) 
1. 
Pendahuluan
Pahlawan
 Nasional adalah gelar yang diberikan 
oleh
Pemerintah Indonesia kepada seseorang warga Negara Indonesia yang semasa
hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa 
bagi
kepentingan bangsa dan negara. Salah satu kriterianya yaitu  Warga 
Negara Indonesia yang telah meninggal
dunia dan semasa hidupnya Telah memimpin dan melakukan perjuangan 
bersenjata
atau perjuangan politik/ perjuangan dalam bidang lain mencapai/ merebut 
/memper
tahankan/mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan 
bangsa dan
telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang 
pembangunan
bangsa dan negara.
Sampai 
saat ini, Sulawesi Tenggara masih saja
belum mempunyai tokoh yang dijadikan sebagai Pahlawan Nasional. Padahal,
keberadaan Pahlawan dapat meningkatkan rasa nasionalisme terhadap 
Bangsa,
mungkin juga karena itu, pengangkatan tokoh daerah menjadi Pahlawan 
Nasional
dijadikan alat politik untuk merangkul kembali daerah yang rawan konflik
 untuk
tetap kepangkuan Indonesia. Kita bisa melihat daerah-daerah yang yang 
kerap
terjadi pemberontakan justru banyak mempunyai pahlawan Nasional yang 
berasal
dari tokoh daerah, misalnya Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Sultan 
Hasanuddin,
Pattimura, dll, meskipun belakangan banyak yang menggugat kepahlawanan 
mereka,
namun Mereka adalah tetap tokoh-tokoh daerah yang dijadikan Pahlawan 
Nasional dan
menjadi inpiratif walaupun kontroversial. Mengapa Sulawesi Tenggara 
belum
mempunyai seorangpun Pahlawan? Mungkinkah memang tidak ada? Atau mungkin
 karena
Sulawesi Tenggara merupakan Provinsi yang paling adem ayem selama 
berdirinya
Bangsa Indonesia ini, jadi fungsi politik dari adanya Pahlawan Nasional 
di Sultra
belum begitu mendesak?.
Entah berapa kali Sultra mengusulkan beberapa
nama kepemerintah Pusat untuk dijadikan Pahlawan Nasional namun belum 
berhasil.
Nama tersebut adalah Lakilaponto/Halu Oleo (Sultan Murhum) yang 
merupahkan
tokoh pejuang dan pemersatu kerajaan di Sulawesi Tenggara dan Sultan
Himayatuddin (Oputa yi Koo) yang merupakan Sultan yang berjuang 
melawan
penjajahan Belanda sampai akhir khayatnya. Pemprov Sultra hanya terpaku 
atas
dua nama tersebut, sedangkan putra daerah yang layak menjadi Pahlawan 
Nasional lebih
dari itu, salah satu dari mereka adalah La Ode Muhammad Falihi 
Kaimuddin Khalifatul
Khamis dan Al Muakram almarhum La Ode Manarfa.
2. Tokoh Pahlawan Nasional Asal Sulawesi Tenggara
A. La Ode
Muhammad Falihi, Sultan 
Buton ke-38
(1937-1960 M).
La Ode
Falihi adalah sultan Buton yang pada masa kepemimpinannya berada pada 
saat
Indonesia sedang berjuang melawan hegemoni Belanda, dan mengusir 
penjajah dari
nusantara. Dimanakah nilai kepahlawana La Ode Muhammad Falihi bagi 
Bangsa Indonesia?
Untuk mengetahuinya, ada baiknya kita harus mengetahui kedudukan 
kesultanan
Buton terhadap bangsa Indonesia disaat-saat awal berdirinya bangsa 
Indonesia.
a. Kedudukan Kesultanan 
Buton Terhadap Bangsa
Indonesia
Kerajaan/Kesultanan Buton 
yang berdiri sejak abad
ke-13 adalah merupakan negara yang berdaulat dan mempunyai pemerintahan
tersendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan Perjanjian Korte 
Verklaring pada masa
pemerintan Sultan ke-33 Muhammad Asikin antara kesultanan Buton dan 
kerajaan Belanda
pada 18 april 1906, dimana dalam perjanjian tersebut kesultanan Buton 
mengakui
kekuasaan Belanda dan Belanda tidak menguasai Buton. Inti dari 
perjanjian ini
yaitu Kesultanan Buton dan Belanda saling menghargai wilayah kekuasaan
masing-masing negara, dimana Buton mengakui kekuasaan Belanda yang 
meliputi Irian,
Maluku, Sulawesi Selatan sampai Utara, sebagian Kalimantan, Jawa, Bali, 
dan Sumatra,
sedangkan Belanda mengakui wilayah kedaulatan Kesultanan Buton. 
Perjanjian ini
menguatkan perjanjian yang telah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya
 sejak
perjanjian “Pesrsekutuan Abadi” yang dilakukan oleh Sultan Buton ke-4 
Dayanu
Iksanuddin dengan Gubernur jendral VOC, Pieter Both pada 17 Desember 
1613. Adapun
wilayah kekuasaan Buton yang diakui dalam perjanjiaan 1906 yaitu 
meliputi
Sulawesi Tenggara ( - afdeling Kolaka) pada saat ini, bahkan meliputi 
selayar
di Sulawesi Selatan dan pulau Menui di Sulawesi Tengah (Afdeling
Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori yang
Beribukotakan di Baubau  Buton).
Setelah 
Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945,
Indonesia dengan Belanda pengadakan Perjanjian Linggar Jati
 pada tanggal
7 oktober 1947. Dimana dalam perjanjian tersebut Belanda mengakui 
kedaulatan
Indonesia atas Jawa, Sumatra dan Madura, sedangkan wilayah indonesia 
timur tetap
dikuasai oleh Belanda, namun dalam hal ini tidak termasuk Kesultanan 
Buton
(perjanjian Korte Verklaring). Pada 7- 24 desember 1947, Belanda 
menggagas berdirinya
Negara Indonesia Timur di Denpasar Bali yang terdiri atas 13 daerah 
otonomi
(Sulawesi Selatan, Minahasa, Kepulauan Singihe dan Talaud, Sulawesi 
Utara, Sulawesi
Tengah, Bali, Lombok, Sumbawa,Flores, Sumba, Timor dan Kepulauan, Maluku
Selatan dan Maluku Utara) dan lima Keresidenan yaitu Sulawesi Selatan, 
Sulawesi
Utara, Bali, Lombok dan Maluku. Jadi Juga dalam hal ini, Kesultanan 
Buton,
masih merupakan negara yang berdaulat dan tidak termasuk wilayah Negara
Indonesia Timur (NIT).
Setelah Agresi Belanda yang
 ke-2, Pada tanggal 23
agustus - 27 Desember 1949, Indonesia yang saat itu masih bernama RIS 
(Jawa,
Madura dan Sumatra) kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda melalui
 Konferensi
Meja Bundar (KMB), dimana hasil dari perjanjian tersebut yaitu 
Negara
Indonesia Timur (NIT) diintegrasikan kedalam Republik Indonesia Serikat 
(RIS),
dan semua bekas jajahan Belanda (Hindia-Belanda) tidak termasuk Irian 
Barat.
Jadi Jelaslah berdasarkan 
beberapa perjanjian diatas
(Korte Verklaring (1906), pernjian Linggar Jati (1946) , Konferensi 
Denpasar
(1949) dan Konferensi Meja Bundar(1949)) maka sampai akhir tahun 1950, 
Wilayah
Indonesia sekarang, saat itu masih terdiri atas 3 negara berdaulat yaitu
 Belanda
(Irian Barat), Indonesia (NITdan RIS) dan Kesultanan Buton (Sulawesi 
tenggara
dan Timur). Dalam Hal ini, Kedudukan kesultanan Buton Sejajar dengan 
Belanda
dan Indonesia.
 b. Integrasi Kesultanan
Buton ke NKRI dan cikal bakal Provinsi Sulawesi Tenggara
menyadari akan kedudukan 
Kesultanan Buton yang
berdaulat, pada awal februari 1950, Ir.Sukarno menggelar Pertemuan di 
Malino (Makassar)
dengan mengundang seluruh raja-raja sesulawesi dihadiri Sultan Andi 
Mappanyuki (raja
Bone) dan Andi Pangerang Pettarani (gubenur afdeling makassar) yang 
sebelumnya telah
masuk kedalam wilayah RI (KMB),  serta kesultanan
buton yang diwakili oleh sultan La Ode Muh. Falihi. Pada Pertemuan 
tersebut Ir.
Soekarno menawarkan bentuk pemerintahan baru kepada Sultan La Ode Falihi
 yaitu bentuk
negara NKRI dengan menawarkan Kesultanan Buton dengan opsi menjadi 
wilayah
istimewah. Pada 15
Januari 1951, democratiseering dilakukan terhadap
anggota-anggota swapraja Buton dan disaksikan Kepala Daerah Sulawesi 
Tenggara
Abdul Razak Bagindo Maharaja Lelo dan Kesultanan Buton pun berakhir. Dalam 
proses selanjutnya, Buton pada
tahun 1952 menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tengara 
(Suseltra)
yang terdiri atas dua kabupaten yaitu kabupaten Sulawesi Selatan yang
beribukota di Ujung Pandang dan Kabupaten Sulawesi Tenggara (Bekas 
wilayah
Kesultanan Buton) yang beribukota di Baubau (Buton) dengan pusat 
pemerintahan
di Ujung Pandang (makassar). Pada tahun 1960, Kabupaten Sulawesi 
Tenggara di
mekarkan menjadi empat kabupaten yaitu Buton, Muna, Kolaka dan Kendari. 
Dan
tahun 1962, Sulawesi tenggara menjadi sebuah Provinsi dengan Ibukota di
Kendari.  
c. Letak Kepahlawanan La 
Ode Muhammad Falihi
Masuknya Kesultanan Buton 
(Baca; Sulawesi Tenggara
Sekarang) kedalam wilayah NKRI ini tidak terlepas dari jasa Sultan Buton
 La Ode
Muhammad Falihi yang secara sukarela mengintegrasikan wilayah 
kekuasaannya yang
luas masuk kedalam wilayah Indonesia. Walaupun pada akhirnya sepeninggal
 beliau
(1960), Kesultanan Buton yang semula dijanjikan menjadi daerah istimewah
 oleh
RI malah mendapat perlakuan bejat dari oknum tentara RI dibawah 
pemerintahan
Orde Baru yang tidak menginginkan Wilayah bekas Kesultanan Buton 
berkembang lebih
baik. Upaya itu dilakukan dengan menahan dan membunuh kader-kader 
terbaik Buton.
Akibat peristiwa kemanusian yang terjadi pada tahun 1965 yang 
menyebabkan kematian hak-hak asasi
kemanusian, sipil dan hak-hak politik, serta kematian budaya masyarakat 
Buton
yang telah berkembang lebih dari enam abad setelah perluasan dari isu 
basis PKI
yang dilancarkan oleh oknum TNI terhadap masyarakat dan 
pemimpin-pemimpin Buton.
Peristiwa tersebut menyebabkan Gubenur pertama Sulawesi Tenggara La Ode 
Hadi di
Lengserkan pada 1965 dan Bupati Buton Kasim ditahan dan akhirnya 
terbunuh
dipenjara  tahun 1969. Pembunuhan karakter
masyarakat Buton tersebut berlansung terus sampai masa Orde Reformasi 
(1998).
Bagi Indonesia khususnya 
masyarakat Buton, Masuknya
kesultanan Buton kedalam NKRI adalah hadiah yang besar yang diberikan 
Sultan La
Ode Muhammad Falihi kepada Ir. Sukarno sebagai presiden Indonesia 
pertama. Masuknya
Kesultanan Buton menyebabkan pupusnya harapan kolonial Belanda untuk 
kembali ke
Indonesia bagian tengah. Sebab sebelumnya, kesultanan Buton jauh lebih 
dekat
dengan Belanda ketimbang daerah lain. Dengan demikian sudah sepantasnya 
jasa
Baginda harus diperhitungkan bagi Republik ini dan sangat layak menjadi
Pahlawan Nasional seperti halnya Sultan Andi Mappanyuki (Raja bone) dan 
Andi
Pangerang Pettarani yang sama-sama berjuang memasukkan NIT kedalam NKRI.
 
B. La Ode Manarfa 
La Ode Manarfa Lahir di Buton, Sulawesi Tenggara, 22 
Maret 1917,
adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin 
Khalifatul
Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih
keturunan Raja Buton I. Karena itulah, beberapa orang menganggapnya 
sebagai
sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang 
Indologie
(ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden,
 Belanda,
pada 1952, Manarfa  menjadi sarjana
pertama di wilayah Sulawesi Selatan-Tenggara (Sulselra). Entah apa 
jadinya
dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode 
Manarfa.
Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan 
hanya
karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan 
kemajuan
pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga 
karena
dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan 
berkeliling
Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat 
Sulawesi,
sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat
memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta.
1. Mendirikan
Universitas Hasanuddin (Sulawesi Selatan)
Sebagian
akhir hayatnya manarfah menghabiskan hidupnya didunia pendidikan. 
Sebagai Bupati
di Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952, Manarfah bersama 
rekan-rekannya
mendirikan Universitas di Ujung Pandang sebagai Ibukota Sulawesi 
Selatan-Tenggara
empat tahun kemudian. Saat itu Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan 
serba
terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat 
dari
segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang. 
Manarfah
menyadari betapa susahnya saat itu, tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia 
merogoh
kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang 
komersial
ketika itu. Universitas yang dibangun tersebut adalan Universitas 
Hasanuddin. Sumbangan
Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar
Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan 
itu,
menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. Manarfa bercerita, 
gambar ayam
jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas 
Hasanuddin.
Universitas Hasanuddin 
menjadi Universitas termaju
di Indonesia bagian timur, universitas yang dibangun menggunakan dana La
 Ode
Manarfa kini telah menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Selatan dan 
Indonesia
Timur. Universitas tersebut telah menghasilkan pemimpin-pemimpin bangsa,
 salah
satunya wakil Presiden Yusuf Kalla. Saat ditemui dan ditanya wartawan 
majalah
TEMPO tahun
2002, berapa dana yang iya keluarkan? 
Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika
tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya.
2.
mendirikan Universitas Haluoleo (sulawesi Tenggara)
Menyadari
betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, 
Manarfa
mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 
tahun1960
sebagai. Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, 
seiring
dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada
 tahun 1964
dan perpindahan Ibukota Provinsi di Kendari. Tak tanggung-tanggung, 
semua
fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang 
pribadi
juga diangkutnya ke Kendari. Setelah pindah, Universitas Sulawesi 
Tenggara
berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status Swasta. Status
 ini
baru berubah menjadi Universitas Negeri pada tahun 1981, juga karena 
perjuangan
Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan,
apalagi uang. Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa 
besar
untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang 
ke Buton
dan lagi-lagi menanam bibit baru. 
3.
Mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Buton)
Dia
mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode 
Malim pada tahun
1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa 
juga bersemangat
mengajar. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat
perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa 
jadi dia
dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata 
kuliah
pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. Syahdan, 
pada
Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa 
berdiri dan
berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan
 selama
tiga jam tanpa henti. Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan,
 toh
jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba 
mengajukan
pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu
seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya 
kepada
TEMPO. Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak
berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga
pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. 
Tak
mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang 
sederhana
berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci 
yang sudah
agak kusam. Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah 
ribuan
buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang 
menempel di
dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir 
yang hidup
di alam ideal. Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga 
anaknyalah yang
harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah
 renta
itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak 
mengambil
gajinya sebagai rektor. Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, 
setiap
akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda 
terima
lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak
gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya
sejahtera," kata Meta.
 Apa lagi nama yang bisa kita 
berikan kepadanya
selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak 
mengherankan bila
senat Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya 
dengan
dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002. Menurut Rektor 
Universitas
Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa 
dianggap
sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, 
dan
mengembangkan Universitas Haluoleo.
3, 
Penutup
Kebanyakan dari kita kurang 
menghargai perjuangan
tokoh daerah disebabkan sebuah egoisme tentang kedaerahan, keturunan dan
kepemilikan. Padahal seorang pahlawan berjuang tanpa pamrih, tanpa 
memikirkan
daerah siapa, keturunan siapa dan rakyat mana yang mereka perjuangkan. 
Mereka
berjuang semampu mereka dengan tidak mengharapkan sebuah imbalan dan 
kekuasaan.
Diotak  mereka hanyalah sebuah keinginan
demi kemajuan dan kesejahteraan buat rakyat dan bangsa. La Ode Falihi, 
berjuang
dengan meninggalkan tahta kekuasaan dan Manarfah yang berjuang demi 
pembangunan
pendidikan dan ahlak. Mereka adalah tokoh yang bisa menjadi inspirasi 
bangsa
khususnya masyarakat Sulawesi Tenggara. Pahlawan Nasional bukanlah milik
keturunannya saja, Pahlawan Nasional bukanpula milik daerah 
kelahirannya, namun
Pahlawan Nasional adalah milik kita bangsa Indonesia. Untuk itu, 
perjuangan
beliau dimasa lalu, patutlah kita hargai dan kita dukung menjadi 
Pahlawan
Nasional.
                       
 Makassar 20/12/2010
Oleh
: Rusman Bahar LM
Sumber
-         Kementerian
 Sosial RI -
Kerja Keras, Kerja Cerdas, Kerja Mawas, Kerja Selaras dan Kerja Tuntas, 
“Pahlawan”
-         
Ilmi 
Hasimin, 2009 “(Diantara
Harapan dan Kenyataan), Pemekaran Buton Raya, Busel dan Buteng” Radar 
Buton 
-         
Sejarah 
Singkat
Sulawesi Tenggara, Sulawesitenggaraprov.go.id
-        Zuhdi 
Susanto,2010, ”Perahu yang Berlayar di Antara Karang-Karang Kesultanan Butuni (1491-1960)” wisatadanbudaya.blogspot.com
-         
Isi 
Perjanjian Linggar
Jati, Wikipedia.com
-         
Isi 
Perjanjian KMB,
Wikipedia.com
-         
Negara 
IndonesiaTimur,
Wikipedia.com
-         
Ibrahim Irianto, 2010 
“Orang-orang Buton, Gemilang
di Masa Lampau” Ini Ok.com
-         
Tempo 
online,2002 “Api
Yang menyalah di Tubuh Manarfa” 
-         
Foto: 
pertemuan raja se
sulawesi (http://politik.kompasiana.com/2010/12/01/kasihan-yogyakarta/)




kok saya baru dengar sepak terjang mereka? setahuku itu cuma haluoleo yang diusulkan jadi pahlawan? tapi apa benar laode manarfa yang membangun unhas?
ayo kita dukung Pahlawan Nasional Laode Fahili dan Sultan Buton terakhir Laode manarfa sebagai pahlawan nasional.
ya itulah sejarah buton, tak kenal maka tak sayang.
Sepak terjang mereka dan Kepahlawanannya cuma menjadi bahan cerita segelintir orang. Namun lucunya, masyarakat buton ataupun Sulawesi tenggara tidak menganggabnya sebagai suatu yang istimewa. Mereka kadang berpikir, kalau pahlawan itu harus memegang senjata dan melawan BELANDA. Alternatif mereka cuma lakilapoto dan oputa yi koo. Padahal masih banyak putra daerah yang layak dijadikan pahlawan nasional.
ralat ya... sepertinya ada kesahalah sejarah deh... unsultra sebagaimana anda paparkan diatas tidak serta merta menjadi unhalu.. yang menjadi unhalu itu dulu bernama UNHOL... kemudian atas prakarsa rektor unhol pada waktu itu (klo tdk salah namanya la ode halim atau laode malim) universitas itu di negrikan...dan waktu itu la ode manarfa masih di jakarta( laode manarfa plng ke buton tahun1985), jadi mana mungkin dia punya andil dalam menegerikan unhalu???
yang kedua, anda katakan dia tdk cari posisi rektor dan memilih pulang ke buton, menanam bibit baru di buton bersama la ode malim? dia kan masih di jakarta dan pulang ke buton itu maksudnya apa? sy jadi tidak mengerti??? bukannya la ode manarfa pulang ke buton tahun 1985? itupun untuk menggantikan posisi la ode malim yang meninggal dalam jabatannya sebagai rektor unidayan. sy ingin sekali di sulawesi tenggara ini ada pahlawannya tapi tolong sejarahnya yang jelas dong...jangan cuma ditulis tanpa dasar...mohon tulisannya diperjelas supaya sama2 kita perjuangkan la ode manarfa sebagai pahlawan kalau argumen yang anda bangun masuk akal...
buat bung ardi, makasih atas kritikannya, kalau boleh sy juga ingin mengetahui lebih lengkap versi yang bung ketahui (boleh kirim ke emailku)...
Adapun yang saya kemukakan diatas mengenai alm. Manarfah, adalah hasil wawancara alm. Manarfah bersama kerabat dengan wartawan majalah Tempo.
Masalah menegrikan unhalu atau unhol menurut saudara, saya berpendapat lain, sebab sampai sekarang jika ingin menegrikan sebuah kampus, maka pengurusan itu harus dilakukan dijakarta dan terus dikawal sampai tujuan itu tercapai..
saya baca, Manarfa juga termasuk pendiri UMI Makassar, mengapa tdk dibahas?
Seharusnya pahlawan Nasional kita ini banyak sekali, tapi pengakuan terhadap mereka belum banyak.
Apapun versi yg kalian ketahui,,saya sih welcome saja,,sebagai keturunan walaka(bangsawan)saya salut dgn sultan terakhir dan putera mahkota,,(meski-ego, garis kami kurang setuju dgn pengangkatan keluarga mereka ke tahta kesultanan)mereka berdua pantas mendapatkan penghargaan tertinggi di tanah air ini,,,luar biasa,,,saya jadi simpati dan kagum atas jasa mereka,,,semoga hanya Allah yg dapat membalas kebaikan mereka berdua,,,amin,,