Intrik Sosial Politik Di Balik Kisah
‘’Persekutuan Abadi”
A. Sepatah kata
Awalnya kerajaan
Buton bukanlah Kerajaan yang kaya, namun wilayahnya yang strategis
sebagai jalur perdagangan menjadi incaran oleh kerajaan-kerajaan
tentangganya seperti Ternate dan Gowa termasuk VOC, dan juga Inggris
pada akhir abad ke-18. Perebutan pengaruh kekuasaan menjadikan Buton
harus memilih “Sahabat” yang mampu melindungi kedaulatan Kerajaan Buton,
dan hasilnya pada tanggal 17 desember 1613 tercetus perjanjian
“Persekutuan Abadi” dengan VOC, yang menghasilkan berbagai intrik,
sosial politik, sepanjang sejarah Kesultanan baik dari dalam maupun luar
pemerintahan Kesultanan Buton. Berakhirnya dominasi Belanda di
nusantara 1824 (perjanjian London 1824) menjadikan Kesultanan Buton
mengalami kemajuan dan justru banyak memberikan bantuan kepada Belanda
antara lain ikut mengadakan persetujuan sepihak dengan Belanda (1824),
mendamaikan Kerajaan Bone dengan Belanda melalui perjanjian Bongaya
(1824) dan ikut serta dalam perang Diponegoro (1825-1830) (mu'jizah 2007). Perubahan yang menonjol terjadi ketika
Buton menjadi ibukota Afdeeling Sulawesi Timur pada tahun 1911 dan pada
tahun 1915, Afdeling Buton dan Laiwui (Kendari) digabungkan dengan
Bungku dan Mori yang dipusatkan di Buton. Selanjutnya Buton
menjadi Kota pusat urbanisasi dan perdagangan terbesar di bagian timur.
Tahun 1960 Buton menjadi bagian Indonesia, yang menandakan berakhinya
pula Kesultanan Buton, juga sempat menjadi Ibu Kota Sulawesi Tenggara
sampai tahun 1964. (Rabani La
Ode;2004).
B. Perang Buton
1. Perang Buton dengan Armada kapal La Bolontio (akhir abad ke -15!)
Perang besar
pertama yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Buton yaitu perang melawan
Armada kapal La Bolontio yang menguasai perairan banda pada akhir abad
ke-15!. Tidak banyak literature yang menjelaskan asal dari La bolontio.
Beberapa Sumber menyebut bahwa Labolontio adalah seorang Bajak Laut
yang menguasai kepulauan Moro di Filipina, perairan banda sampai
selayar. Namun dalam manuskrip Buton, tercatat bahwa labolontio adalah
seorang kapten laut dari kepulauan Tobelo Kesultanan Ternate. La
bolontio memimpin pasukan laut dibawah perintah Sultan Ternate ke-4
Sultan Baabullah Datu Sah (1570-1584), untuk memperluas wilayah
kekuasaannya juga dalam rangka menyebarkan pengaruh Islam di kawasan
timur Nusantara termasuk Buton, Bima, Selayar dan Makassar yang pada
saat itu kebanyakan Kerajaan masih beragamakan Hindu. Penyerangan Armada
Labolontio ke Buton terjadi pada saat kerajaan Buton masih dipimpin
raja ke-5 Rajamulae ( sampai dengan 1491). Disini terlihat ada perbedaan
interval waktu yang sangat jauh antara masa Rajamulae dengan Sultan
Baabulah yang terpaut hampir 90 tahun. Namun jika di konversi ketahun
Rajamulae maka diperoleh kemungkinan kesamaan waktu antara Raja Buton
dengan Sultan Ternate pada masa Pemerintahaan Sultan pertama Ternate
Zainal Abidin (1486-1500).
Kehebatan Armada
Laut Labolontio sangat disegani dan merupakan ancaman yang menakutkan
bagi kerajaan-kerajaan lain pada saat itu. Dalam rangka mempertahankan
kerajaannya, Raja Mulae meminta kerajaan-kerajaan Baratha [daerah
penunjang pertahanan kesultanan Buton yang memiliki raja sendiri (Wuna (
Muna ), Kulisusu, Tiworo dan Kaledupa)] untuk mempertahankan kerajaan
Buton. Adalah La kilaponto [anak dari Sugimanuru (Raja wuna ke-3) dan
cucu dari Bataraguru (Raja Buton ke-3) yang kebetulan juga adalah
kemenakan dari Raja mulae] yang pada saat itu menjadi raja Wuna VII
memimpin penyerangan terhadap Armada Labolontio bersama Raja Selayar Opu
Manjawari didukung rakyat Muna dan Kulisusu. Peperangan Armada laut
Buton–Selayar dengan Pasukan Armada Labolontio dimenangkan oleh pasukan
Lakilaponto bersama Opu Manjawari di daerah yang sekarang lebih di kenal
dengan nama Labuantobelo (Labuan = Pelabuhan/persinggahan ; Tobelo =
Daerah/pulau Tobelo). Berkat Jasa keduanya, maka Kerajaan Buton
mengankat Lakilaponto menjadi Raja ke-6 Buton (1491-1527) yang
selanjutnya menjadi Sultan ke-1 Buton dengan gelar Sultan Kaimuddin
khalifatul khamisi (1528 – 1537) [tahun kesultanan ini saya pakai
merujuk pada penelitian La Niampe tentang sejarah masukanya islam ke
tanah Buton] dan Opu manjawari mejadi Sapati di Kerajaan Buton.
Pengangkatan Lakilaponto menjadi Raja
Ke-6 Buton dan Opu Manjawari dari selayar menjadi Sapati di Buton dapat
menjelaskan bagaimana Kedudukan Kerajaan Buton terhadap kerajaan
disekililingnya. Begitupun kerajaan Selayar Namun ada yang khusus bagi
Raja Selayar Opu Manjawari. Apakah Raja Selayar mempunyai hubungan darah
dengan raja Buton, ataukah Selayar merupakan bagian dari kerajaan
Buton atau Sahabat Kerajaan buton, atau sahabat raja Muna? Atau apa yang
sebenarnya telah terjadi di Selayar? Namun ini agak sangat sulit
dijelaskan dan perlu pengkajian sebab keberhasilan seorang Raja Selayar
mengalahkan Pasukan Labolontio menjadikan dirinya Pati kerajaan Buton,
walaupun pada akhirnya cucu dari Sapati Manjawari hasil perkawinan dari
anak perempuanya dengan Lakilaponto bernama La Sangaji menjadi Sultan
Ke-3 Buton (1566-1570). La Sangaji merupakan Sultan yang merintis
pembangunan Benteng Keraton Wolio yang merupakan benteng pertahanan
terkuat di zamannya serta menjadi saksi perang kesultanan Buton yang
masih kokoh hingga sekarang.
2. Perang
Buton – Ternate (1580!)
Dibawah
kepemimpinan Sultan Baabullah, Kekuatan armada perang Kesultanan Ternate
begitu
menakutkan bagi kerajaan-kerajaan disekitarnya dan juga pada saat itulah
kesultanan Ternate berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Kesuksesan
Sultan Baabullah ini, menjadikan dirinya
sebagai sultan yang berjulukan penguasa 72 pulau/negeri. Pada masa
kejayaan
Sultan Baabulah Datu Syah, kesultanan Ternate berambisi memperluas
wilayah
kekuasaannya dengan dalil penyebaran agama Islam. Ekspansi kesultanan
Ternate
ini menjadi ancaman bagi kerajaan-kerajaan disekitarnya, termasuk Buton,
Selayar dan Gowa. Pada
tahun 1580!, pasukan
ternate yang mengekspansi Kesultanan Buton, kemudian berhasil menduduki
salah
satu wilayah barata Kesultanan Buton, yaitu Kerajaan Muna (Pansiano).
Semenjak
saat itu, VOC yang baru menginjakan kakinya di Nusantara mengaggab bahwa
Kesultanan Buton merupakan wilayah dari Maluku (kesultanan Ternate).
3. Perang Buton – Belanda . (1637 – 1638)
Hubungan diplomatic
yang di sepakati antara VOC dengan kesultanan buton sejak Kesultanan
ke- 4. Sultan La Elangi (Dayanu Iksanuddin ;
1578-1615 M) dengan di ikrarkannya “Persekutuan Abadi” oleh Apollonius
Scotte dibawah Gubernur Jendral Pieter Both tahun 1613 lambat laun
semakin retak, ini disebabkan karena kebanyakan dari anggota garnisium
Belanda selalu menipu dan berbuat sesuatu yang arogan terhadap rakyat
Buton. Keadaan ini memicu ketidakpercayaan didalam petinggi Kesultanan
untuk melanjutkan perjanjian tersebut, hingga terjadi penyerangan kapal Velzen
milik VOC yang didukung Sapati Kesultanan yang menentang perjanjian.
Penyerangan kapal dagang VOC yang terdampar di salah satu wilayah kadie
(wilayah kecil kesultanan dibawah perintah kesultanan Buton) di pulau
Wawoni menimbulakan kesalahpahaman dan perpecahan yang berakhir dengan
peperangan.
catatan Schoorl sangat jelas
menggambarkan hubungan Kesultanan Buton dan VOC yang pasang surut dan
berakhir dengan perang yang sangat dasyat. Sultan ke-5 Sultan La Balawo
(1617-1632) merasakan ancaman invasi dari kerajaan Makassar yang telah
menaklukan Selayar, sehingga Sultan berinisiatif untuk meminta bantuan
kepada Belanda yang berada di Batavia jikalau nantinya kerajaan Gowa
menyerang Buton, mengingat Makassar adalah salah satu kerajaan yang kuat
pada masa itu, namun surat tersebut ternyata tidak dihiraukan. Keadaan
ini membuat konflik internal dalam Kesultanan Buton, akibat hilangnya
kepercayaan petinggi Kesultanan Buton (Sapati) terhadap Belanda namun
sebagian lagi golongan masih mengharapkan bantuan dari Kerajaan Belanda
sebagaimana keyakinan mereka terhadap perjanjian persekutuan abadi yang
telah di ikrarkan oleh Sultan terdahulu. Schloor juga menjelaskan
bagaimana Penyerangan di bawah pimpinan Sapati yang mendukung
penyerangan menghancurkan kapal – kapal VOC yang terkandas di pulau
Wawonii dan melakukan pembantaian awak sebuah Fluyt VOC, Velzen,
serta pembunuhan, penawanan dan penyiksaan terhadap kakitangan sebuah
kapal dagang peribadi Belanda yang singgah di Bau-Bau. Meskipun Sultan
menempatkan isteri nakhoda kapal partikulir Belanda yang ikut ditahan, Elsje
Janszoon, itu di rumah isterinya sendiri dengan diberi layanan
dengan baik, di mana ia “menginap sebagai tamu dan selalu diperlakukan
dengan baik ‘’ Namun tidak menyurutkan keinginan
Belanda untuk membumi hanguskan Kesultanan Buton, untuk memberi
pelajaran atas kekejian yang (menurut mereka) dilakukan atas perintah
Sultan Buton.
Penyerangan pertama Belanda dilakukan
pada akhir tahun 1637 di lanjutkan penyerangan kedua tahun 1638 dengan
jumlah armada dan persenjataan yang lebih besar. Serangan armada VOC
terjadi pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-6 Sultan La Buke
(1632-1645). Pertempuran tersebut sangat dasyat dan menimbulkan banyak
korban dari kedua belah pihak. Meskipun banyaknya korban yang berjatuhan
dari pihak Buton, sampai pertempuran berakhir, armada Belanda tidak
berhasil menjatuhkan dan merebut benteng keraton Wolio dimana merupakan
pusat Kasultanan Buton.
4. Perang Buton - Makassar di Teluk Buton
(1666-1667)
Perang Buton
dengan kerajaan Makassar adalah konskuensi atas tindakan Kesultanan
Buton yang memberi suaka politik pada Aru palaka yang melarikan diri
bersama beberapa pengikutnya atas kejaran kerajaan Makassar di bawah
pimpinan Sultan Hasanuddin (1631 – 1670). Sebagaimana yang diterangkan dalam
kajian horst h. Liebn 2007 Mac Leod
dapat menerangkan alasan Speelman membantu Kesultanan Buton pada saat di
serang pasukan Makassar awal tahun 1667, yaitu dikarenakan Speelman
merasa berhutang atas bantuan Sultan yang telah menyelamatkan 600 armada
VOC beserta muatan dan alat persenjataannya termasuk yang telah di
ambil oleh nelayan setempat (sagori), ketika 4 dari 5 Armada VOC yang
menuju Ternate karam di kepulauan Sagori tahun 1650, meskipun saat itu
hubungan VOC dengan Buton masih renggang.
Dipimpin Karaeng
Bonto Marannu, Armada Kerajaan Gowa didukung kesultanan Bima dan Luwu
dengan 700 Armada kapal dan 20.000 prajurit menyerang Kesultanan Buton
pada akhir tahun 1666, yang pada saat itu kesultanan Buton berada
dibawah pemerintahan Sultan ke-10 La Simbata (Sultan Adilil Rakhiya;
1664-1669 M), Pertempuran hebat diteluk Bau-bau oleh kesultanan Buton di
bantu dengan Belanda dibawah pimpinan Cornelis Speelman dan prajurit
Bone bertempur melawan Armada kerajaan Gowa. Pertempuran tersebut
mengakibatkan kekalahan besar bagi kerajaan Gowa. Dan ribuan prajurit
termasuk Karaeng Bonto Marannu di tawan dan di asingkan di Liwuto Makasu
(baca; pulau Makasar). Dalam catatan Belanda, Pulau Makkasar dinaman
juga “Makassarsch Kerkhof” atau Kuburan Makassar. Adalah mantan
Sultan Ke-9 Buton yang kemudian membebaskan dan memulangkan mereka,
sedangkan Daeng Mandangi dan Daeng Mandongi, Serta Karaeng Gasalah kawin
dengan penduduk setempat.
Tentang Aru Palakka (baca; Arung Palakka )
dalam sejarah Bone menceritakan, Meskipun Aru Palakka tumbuh besar
dalam didikan kerajaan Makassar, namun Aru Palakka adalah bangsawan yang
tidak suka pada pemerintahan Hasanuddin yang menjadikan rakyatnya
sebagai perkerja (budak). Kesewenang-wenagan pemerintahan Gowa
memberlakukan rakyat Bone memicu rasa siri (harga diri) bagi Aru
Palakka. ketidaksenangan Aru Palaka ini di wujudkan dengan pemberontakan
terhadap kerajaan Makassar. Namun Aru palaka tidak dapat melawan
gempuran kerajaan Makassar sehingga memaksa Aru Palakka bersama Tobala
mencari perlindungan meninggalkan Bone dan pergi ke Buton dengan
beberapa ratus pengikutnya.
Ada kisah yang menarik sehubungan dengan pelarian Bangsawan
Bone Aru Palakka ke Negeri Buton. Pada saat pengejaran kerajaan Makassar
sampai ke Buton. Utusan Makassar Karaeng ri Gowa menanyakan keberadaan
Aru Palaka kepada Sultan Ke-9 La Awu (Sultan Malik Sirullah ;1654-1664
M) namun pertanyaan itu dijawab dengan sumpah yang menyatakan bahwa “Aru
palakka tidak ada di atas tanah Buton ini, Jika ucapanku salah, maka
air akan menenggelamkan negeri Buton”. Sumpah ini diterima dan dianggap
sah yang tentu saja mengecewakan prajurit kerajaan Makassar yang pulang
tanpa hasil. Namun sesungguhnya pada saat Sultan Buton mengangkat
sumpah, Aru Palakka memang berada di Buton, tetapi bersembunyi di dalam
ceruk goa yang berada tepat di bawah benteng Keraton Buton (Baca; Liana
La Toondu). Belakangan keberadaan Aru palaka diketahui Kerajaan
Gowa yang ternyata berada di Buton sejak tahun 1660. Kejadian ini
membuat Sultan sakit hati dan marah karena keberanian Buton melindungi
Aru Palakka serta merasa tertipu oleh sumpah Sultan Buton. Rasa marah
Sultan membuat kerajaan Gowa mengirim armada perangnya melakukan
penyerangan secara besar-besaran ke Buton demi menghancurkan Kesultanan
Buton dan menangkap Aru Palakka hidup atau mati. Peristiwa pelarian Aru
palaka ke Kesultanan Buton dan upaya penyelamatan dengan menggunakan
sumpah, menjadi buah bibir dan selalu di kenang bagi masyarakat Bone –
Buton hingga sekarang.
5. Perang Makassar
(1966 – 1969)
Kekalahan besar pasukan Armada kerajaan
Gowa di Buton melemahkan pertahanan kerajaan Gowa di Makassar. Hal ini
dimamfaatkan oleh kerajaan-kerajaan yang sebelumnya berada di bawah
tekanan Kerajaan Gowa, kembali balik menyerang. VOC dibawah pasukan
Speelman, Ternate dibawah Sultan Mandarsyah (1645-1675), Buton dibawah
Kapitalao Jitanggalawu dan Bone di Bawah pasukan Aru palaka melakukan
penyerangan besar-besaran ke Makassar baik dari laut maupun darat pada
tahun 1667. Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin dan Armada
Karaeng Galesong mendapat pukulan hebat dan kekalahan besar sehingga
memaksa Sultan Hasannudin tunduk dan menandatangani perjanjian Bongaya
November 1667. Berjanjian tersebut merupakan kemunduran besar bagi
kerajaan Gowa karena harus melepaskan dominasi kekuasaannya terhadap
kerajaan-kerajaan lain dan salah satunya pelepasan pemerintahan atas
kerajaan Bone. Meskipun perjanjian Bongaya sudah disepakati namun
serangan sisa-sisa perlawanan kerajaan Gowa yang menentang perjanjian
tersebut masih terus terjadi (1668). Nanti setelah tahun 1669 perlawanan
selesai setelah benteng Somba Opu telah rata dengan tanah.
Kutipan Naskah teks
surat kapitalao Buton Jitawanggalu yang berada bersama Sultan Ternate
Sultan Mandarsyah (1645-1675) Oktober tahun 1669 yang di tulis di
Makassar kepada Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker di Batavia.
Naskah surat tersimpan di UB leiden Belanda dengan Kode K.Ak.98
…. “[S]ahabat Kapiten Laut [Buton]
mem[b]eri maklum kepada Gurnadur Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat
Raja Buton kami mengiringkan Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut
pada A[d]miral Cornelis Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami
mengerjakan kerja kita”…..
… “Tertulis dalam Benteng Parinringa yang
be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (<sembilan>; kata
sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun Jim
hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh genap”.
(Suryadi; 2009)
Jelas bahwa
K.Ak.98 ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di bawah
pimpinan Cornelis Speelman. Isi surat ini cukup menggambarkan posisi
politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC
berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi
kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton (Suryadi; 2009).
6. Perang Buton Belanda tahun 1752 dan 1755 - 1776
Perjanjan Bongaya tahun 1667 di Makassar
ternyata tidak memberi pengaruh yang luas terhadap Kesultanan Buton,
walaupun kenyataannya Kesultanan Buton mepunyai andil yang sama dengan
Ternate dalam upaya penaklukan Makassar 1666-1669. pemberian porsi
kekuasaan yang besar terhadap kerajaan ternate dan VOC/kompeni sendiri
dirasa sebagai upaya pengurangan kekuatan/ wilayah kekuasaan Buton dan
sebagai usaha adu domba dengan Kerajaan Ternate. Salah satu pasalnya
yaitu dengan memberikan pengakuan wilayah seluruh pantai timur Sulawesi
dari Menado ke Pansiano (Wuna) adalah dulunya merupakan milik raja
Ternate (pasal 17). Disamping itu perjanjian yang berkaitan dengan
monopoli dagang Hindia-belanda dengan dihapuskannya bea dan pajak impor
maupun ekspor terhadap kompeni (pasal 8) yang diterapkan diseluruh
persekutuan Belanda, dampaknya mulai dirasakan Kesultanan Buton yang
saat itu mengakibatkan hilangnya salah satu pemasukan kerajaan sebagai
daerah transit kapal-kapal yang menuju ke timur (Ternate-Ambon-Papua)
dan ke barat (Makassar-Jawa-Bali).
Adalah sultan Buton ke- 20 dan 23 La
Karambau ( Sultan Himayatuddin ; 1751-1752 dan 1760-1763) yang mencoba
melakukan perlawanan terhadap arogansi dari Kompeni. La karambau tidak
mengindahkan perjanjian 1667 yang dianggapnya sangat menguntungkan
kompeni. Salah satunya aksinya yaiu dengan melakukan penyerangan
terhadap kapal Rustenwerk
milik kompeni Belanda di bawah
pimpinan Kapten Mazius
Tetting. Kejadian bermula
pada saat Sultan mengirim beberapa orang menuju kekapal Belanda yang
sedang berlabu di perairan Buton untuk menegosiasikan pembayaran. Namun
kompeni tidak mau mau membayar ongkos berlabu dan akhirnya terjadi
pertengkaran dan saling menyerang. Utusan Buton lalu membunuh dan
menawan sebagian kelasinya dan
menjarah isi kapal pada 28 juni 1752. Peristiwa tersebut membuat
marah kompeni dan hubungan Buton-Belanda menjadi renggang. Kemarahan
kompeni ditampilkan dengan meminta seribu orang budak sebagai ganti
rugi. Bagi La Karambau hal ini tidak dapat kabulkan dan justru menentang
permintaan dari pihak Kompeni tersebut. Akibat tindakan Sultan La
Karambau, Kompeni Belanda mengirim pasukannya pada akhir 1752 di bawah
pimpinan Johan Benelius menyerang Buton.
Demi
mempertahankan kedaulatan kesultanan Buton, La Karambau turun memimpin
perlawanan melawan Kompeni. Untuk mengisi kekosongan Pemerintahan maka
Kesultanan Buton mengankat Sultan ke-21 Hamim (Sultan Sakiyuddin;
1752-1759) yang juga ternyata menetang keberadaan Kompeni. Kompeni
tidak menyangka mendapat perlawanan hebat dari La Karambau yang juga di
dukung Sultan Hamin, membuat mereka harus mundur. Hasilnya kompeni
menambah armada perang kembali menyerang Buton pada februari 1755 di
bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber menggempur
Keraton Buton. kembali kompeni mendapat perlawanan hebat dari pasukan La
Karambau, walaupun tidak sehebat seperti pada awal perlawanan. Pasukan
kompeni berhasil memukul mundur pasukan La karambau sehingga memaksa
pasukan La Karambau harus melakukan penyerangan secara gerilya
dihutan-hutan yang dipusatkan dibenteng siontapina. Tehnik perang
gerilya tersebut ternyata sangat berhasil dan mengusir pasukan Kompeni
dari tanah Buton. Keberhasilan La karambau dalam mengusir pasukan
Kompeni mejadikan dia dinobatkan kembali menjadi Sultan Buton Ke-23
menggatikan Sultan ke-22 yang menjabat cuma setahun La Seha (Sultan
Rafiuddin; 1759-1760) dengan tambahan gelar Sultan Himayatuddin Oputa yi
koo dalam makna Sultan Himayatuddin (La Karambau) Raja di hutan
(1760-1763).
Kembalinya La Karambau menjadi Sultan
Buton ke-23 mendapat banyak pertentangan dari kalangan petinggi
kesultanan termasuk juga mendapat tekanan dari Kompeni. Hal ini bagi
sebagian kalangan, pengangkatan kembali Sultan La Karambau yang terlalu
kritis terhadap kompeni dapat merusak perjanjian ”Persahabatan Abadi
Buton-Belanda” yang telah di ucapkan oleh Sultan-sultan terdahulu.
Karena desakan itu maka terjadi pergantian kepemimpinan dengan
diangkatnya La Jampi (Sultan Kaimuddin;1763-1788) sebagai sultan Buton
yang ke-24. Dan oleh Belanda, La Karambau menjadi orang yang paling
dicari untuk di bunuh sebagai pertanggungjawaban atas tindakannya
melawan serta membunuh banyak Kompeni. Meskipun telah turun tahta La Karambau memiliki banyak pengikut
setia dan terus melakukan perlawanan terhadap Kompeni. Perlawanan yang
dipimpin La Karambau tersebut kembali mengakibatkan banyaknya korban
yang berjatuhan. Satu pejabat tinggi bersama anak dan cucu La Karambau
di tawan dan dibawa ke Belanda. Penyanderaan anak dan cucu ini tidak
menyurutkan hatinya untuk memerangi Belanda, justru ia melanjutkan
perlawanannya dengan strategi perang rakyat semesta bersama rakyat
desa-desa dipantai timur Buton dengan taktik gerilya yang kembali
berpusat di puncak gunung Siontapina. Perjuangan Lakarambau melawan
kezaliman dan ketidak adilan Belanda tersebut berlangsung selama 24
tahun (1752-1776) sampai ajal menjemputnya di puncak gunung Siontapina. (Mane
Oba La Ode; 2009). Perang
melawan Kompeni tersebut banyak menelan korban dari kedua belah pihak.
Di Buton, antara lain Sapati (pejabat tinggi Kesultanan),Bonto Ogena,
Raja Lawele dan Tondana mantan raja Rakina dan termasuk kapitalao
matanayo La Ode Sungkuabuso gugur dalam mempertahankan kedaulatan
negrinya. ( zuhdi;1999 : Ligvoet, 1878-78-9)
Sultan ke-24 La Jampi mencoba kembali
menjalin hubungan Buton-Belanda yang telah retak. demi terciptanya
hubungan kedua belah pihak, Sultan mengadakan persetujuan sepihak dengan
Kompeni pada tanggal 12 maret 1766 yang
hasilnya merugikan Kesultanan Buton. Inti dalam perjanjian adalah
bahawa Belanda memasukkan Kerajaan Buton ke dalam Pax Neerlandica.
kepada Kompeni, perjanjian ini adalah perluasan dari kontrak perjanjian
pertama antara Buton dengan Belanda yang ditandatangani pada 17 Desember 1613 yang mengikat
Persekutuan Abadi antara Buton dan Belanda (Schoorl 2003:69, n.4).v.
Perjanjian ini mendapat perlawanan yang keras terutama bagi Sultan
ke-25 La Masalamu (Sultan Azim Al-Din ; 1788-1791). Sultan Azim Al-Din
dengan tegas meminta pihak Kompeni untuk meninjau kembali Perjanjian 1766 yang isinya
merugikan pihak Buton. Salah satu pasal dalam perjanjian itu yang tidak
disukai Sultan Azim Al-Din adalah ketentuan bahawa setiap penggantian
sultan Buton harus dilaporkan kepada wakil Kompeni di Makassar (pasal
28). Pasal itu juga mengatur bahawa pihak Buton wajib berunding terlebih
dahulu dengan Kompeni mengenai setiap calon Sultan baru mereka dan juga
yang akan diturunkan dari takhtanya. Pasal ini jelas bertentangan
dengan semangat perjanjian pertama Buton-Kompeni (Perjanjian 1613)
dengan kedua-dua pihak berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Jika
dalam perjanjian 1766 Buton harus melaporkan setiap penggantian
sultannya kepada Kompeni (yang mengisyaratkan pengetatan kontrol politik
oleh Kompeni kepada Buton), maka masuk akal apabila Sultan Azim Al-Din
yang ingin mempertahankan kebebasan Buton tidak dapat menerimanya.
Dengan kata lain, Sultan Azim Al-Din menilai Kompeni sudah terlalu jauh
ikut campur tangan dalam urusan politik internal Buton. Baginda cukup
kritis dan tidak mahu tunduk kepada kemahuan Kompeni yang memang
terkenal doyan kontrak. Kini, hampir 30 tahun kemudian, Sultan Azim
Al-Din yang sedang berkuasa ingin agar kontrak perjanjian itu disemak
lagi, melanjutkan protes para pendahulunya. Nada warkah balasan Kompeni
itu cukup keras, walaupun mereka akhirnya mahu menyemak pasal 28 dalam
perjanjian baru itu. Kompeni kesal dengan Sultan Azim Al-Din yang
mengatakan bahawa Baginda tidak tahu-menahu isi perjanjian 1766. Itu
tidak masuk akal, sebab sudah berkali-kali pihak Kompeni dan pembesar
Buton saling berkirim warkah membahas perjanjian itu, baik sesudah
‘dipersumpahkan’ atau sebelumnya. Anihnya, tidak lama selepas itu,
Sultan Azim Al-Din turun takhta dan Sultan Muhyiuddin Abdul Gafur naik
takhta menggantikannya. (Suryadi 2007).
7. Perang
Buton – Papua dan Seram 1796-1799!
Sebagai
Sultan baru di Buton,Sultan ke-26 La Kopuru (Muhyiuddin Abdul Gafur;
1791-1799) berusaha memperbaiki hubungan Buton-Kompeni yang tegang pada
tahun-tahun sebelum baginda naik takhta. Selain itu, ada juga dikesani
bahawa secara peribadinya Sultan Muhyiuddin lebih dekat kepada Kompeni
berbanding dengan Sultan Azim Al-Din. Langkah untuk mendekatkan diri
dengan Kompeni adalah semacam strategi politik Sultan Muhyiuddin kerana
Baginda menghadapi persoalan politik dalaman yang serius, selain ancaman
dari luar. Ancaman luar yang terus menerus dirasakan Buton adalah
perlumbaan pengembangan kuasa dari dua buah kerajaan besar jirannya:
Ternate dan Makassar. Oleh itu, Sultan Muhyiuddin tetap bekerjasama
dengan Belanda, penaung utama yang sejak dahulu lagi telah melindungi
mereka. Sultan Muhyiuddin
juga tidak lupa mengingatkan Kompeni agar jangan mengabaikan Buton, baik
dalam masa damai atau dalam keadaan terancam. Ancaman luar juga datang
dari orang-orang Seram (ditulis “Seran”) dan Papua. (Suryadi 2007)
Sultan Muhyiuddin
selalu melaporkan dengan rinci setiap peristiwa politik yang terjadi
dalam kerajaannya ataupun memberi kabar tentang kapal-kapal Kompeni atau
Inggris yang melintas di perairan Buton juga keamanan yang menyangkut
perairan di Buton. ini di lakukan untuk menjaga hubungan diplomatic
dengan Belanda di mana Belanda saat itu merupakan bangsa yang besar dan
mampu memberi perlidungan dari ancaman oleh kerajaan atau bangsa lain.
Sekitar bulan September 1796, sultan
Mahyuddin mendapat kabar dari dua orang yang lepas dari tangkapan armada
Seram dan Papua dan melaporkan bahwa Prajurit perang dari Seram dan
Papua datang ke Buton untuk menyerang dan menghacurkan kerajaan Buton.
Kemudian kabar itu di benarkan juga oleh masyarakat Binongko dan juga
utusan Buton di Makassar yang sedang menuju Ternate namun diperjalannan
dia mendapat khabar dari kerajaan Banggai kalau Buton hendak di serang.
Rupanya Kerajaan Seram dan Papua tidak suka dengan Belanda, sehingga
mereka akan menghancurkan siapa saja kerajaan yang bersekutu dengan
Belanda dan tidak mau berhubungan dengan Inggris. Dapat disimpulkan
bahwa aksi penyerangan tersebut mendapat dukungan dari kerajaan Inggris,
yang kebetulan pada akhir abad ke-18 dengan Belanda saling berebut
pengaruh di wilayah timur Nusantara. Dengan membawa 2000 prajurit dan
300 Armada kapal didukung persenjataan dari Inggris, pada bulan Oktober
seperdua dari Armada tersebut telah tiba dan menggempur wilayah Buton
bagian barat (Mawasangka) dan Wawolowu, utara (Kulisusu) , timur
(Kaledupa). Keadaan ini membuat Sultan Muhyiuddin meminta kepada Belanda
untuk segera menjual peralatan perang dengan harga yang terjangkau.
Belum ditahu kapan berakhirnya perang tersebut. Namun yang pasti, pada
masa pemerintahan Sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu Asraruddin; 1799-1823), kesultanan Buton Aman dari
serangan luar dan hanya tercatat sekali pemberontakan dari dalam yaitu
aksi makar Muna (1816-1824). Ada kemungkinan penyerangan berakhir pada
tahun 1799 di bawah pimpinan La Badaru, karena sudah menjadi kebiasaan
di Kesultanan Buton, pemimpin perang yang membawa kemenangan menjadi
alasan buat “Sarana” (Badan Legislative Kesultanan) untuk
dipertimbangkan menjadi Sultan. Ini juga dapat di lihat dari masa
jabatannya yang lama (24 tahun), dimungkinnkan karena prestasinya yang
gemilang.
Sultan La Badaru Dayanu Asraruddin
merombak beberapa aturan pemerintahan Kesultanan antara lain dengan
membuat aturan Prosedur Militer dan aturan Sabandara (syahbandar).
Peristiwa penting
yang terjadi di masa kekuasaan Sultan Asraruddin adalah ditutupnya
perjanjian dengan Kompeni di Makassar pada 12 Januari 1804 (Ligvoet
1878:87). Sultan Asraruddin tampaknya cukup kritis kepada Kompeni
dibanding sultan sebelumnya sultan Muhyiuddin Abdul Gafur.
8. Perang
Buton melawan Bajak Laut tahun 1824
Pada masa pemerintahan Sultan ke-28 La
Dani (Sultan Anharuddin;1823-1824), tercatat bahwa beberapa kapal Bajak
laut yang datang dari timur singgah di daerah Pasar Wajo dan menyerang
penduduk disana. Tidak di tahu siapa pemimpin Bajak Laut tersebut.
Disamping itu Sultan La Dani harus membereskan pemberontakan dari aksi
makar Barata Wuna yang juga merepotkan pemerintahannya. Muhammad Idrus
yang juga pada saat itu adalah menantu dari Sultan Anharuddin tampil
kedepan untuk memimpin pasukan menyerang dan menumpaskan aksi Bajak
Laut. Bajak Laut tersebut berhasil dikalahkan dan Muhammad Idrus pulang
dengan membawa kemenangan, lalu diangkat menjadi Sultan ke-29
menggantikan mertuanya yang cuma menjabat selama satu tahun.
Menurut Zahari (1977: III, 25-7) Sultan
Anharuddin diturunkan dari kekuasaannya karena melakukan beberapa
kesalahan dalam prosedur militer, antara lain dalam penumpasan Bajak
Laut yang menyerang Pasar Wajo. Aksi penumpasan itu dipimpin oleh
Muhammad Idrus, menantunya, yang kemudian menggantikannya menjadi Sultan
dengan gelar Kaimuddin I. Zahari berspekulasi bahwa alasan
pemberhentian Sultan Anharuddin sepertinya tidak kuat, “tetapi agaknya
terkandung suatu rahasia pribadi dari Sultan Anharuddin terhadap anak
mantunya [itu]” (Ibid.:26).(suryadi;2007).
9. Pemberontakan Dalam Pemerintaha
Kesultanan Buton
Sepanjang pemerintahan Kesultanan Buton,
selain mendapat tekanan dari luar, juga mendapat tekanan dari dalam.
Aksi pemberontakan dan makar serta kerusuhan menghiasi perjalanan roda
pemerintahan diantaranya kerusuhan di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus
Sapati Kapolangku yang menimbulkan terjadinya kesalahpahaman antara
Ternate Buton tahun 1669. Disamping itu juga tercatat beberapa aksi pemberontakan dan makar yaitu
sebagai berikut.
a. Kulisusu
dan Wawoni tahun 1791 dan 1796
Sepanjang masa pemerintahannya, Sultan
ke-26 La Koporu (Muhyiuddin Abdul Gafur; 1791-1799) menghadapi banyak
masalah politik, ada yang bersifat dalaman dan luaran. Antara masalah
dalaman itu adalah pemberontakan di Kalincusu dan
Wowoni yang banyak memakan korban dan menghabiskan senjata Buton,
sehingga Sultan memohon kepada “Gurnadur Jenderal” agar dapat menjual
peralatan perang agar Buton dapat mempertahankan kedaulatannya ke atas
keduadua wilayah itu. (Warkah B dan D; suryadi).
Naskah teks surat
(warkah) Sultan Buton kepada Gubernur Jenderal
di Batavia, yang penulis kutip dari Warkah Koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden oleh Suryadi
WARKAH B: CoD.Or. 2240-IA tgl 21 September 1791
………..
Seperkara lagi, Paduka Sri Sultan dan segala wazir
menteri2nya bermaklumkan Paduka Yang Dipertuan
Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van India di Betawi akan hal
peperangan kami dengan Negeri Kalincusu sekarang ini. Maharaja Sapati
dan Kapiten Laut telah sudah dimenangkan Allah, dikalahkannya Negeri
Kalincusu jua adanya.
Syahdan, adapun
Paduka Sri Sultan dan wazir menteri2nya serta ia melihat sudah kalah
Negeri Kalincusu, lalu ia penyuruh Raja K-n-d-w-r-h dan Menteri Katapi
dan empat orang pangalasan dan seorang juru bahasa serta <teman>
teman2nya pada empat buah perahu yang pergi di Hujung Pandan pada tahun
yang lalu hendak memberi maklum kepada Paduka Ayahandah Kompeni di
Mangkasar, dipesertakan dengan lasykar seratus kapal yang dibawanya ke Mangkasar jua
adanya……..
WARKAH D : CoD. Or. 2240-IA tgl 31 Oktober 1796
…….
Seperkara lagi, Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala
wazir menteri2nya bermaklumkan Paduka Ayahandah kompeni Heer Gurnadur
Jenderal dan segala Raden van India di Betawi perihal sekarang ini sudah
di dalam berperang dengan Negeri Wowoni antara tiga bulan. Segala raja2
dan menteri2 serta segala rakyat tiga ribu bilangan banyaknya yang
pergi menyerang Negeri Wowoni telah banyak mati dan luka, dan senjata
sudah banyak yang rusak, dan obat dan pelor sudah habis dalam perang kami.
….
……
Dari warkah surat
tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa Sultan Mahyuddin terjadi
sekaligus dua pemberontakan yang cukup merepotakan pemerintahaan
Kesultanan Buton. pemberontakan pertama terjadi didaerah Barata Kulisusu
namun pada bulan September 1791 Sapati dan Kapitalao berhasil menumpas
aksi pemberontakan tersebut. Namun di tahun 1796 terjadi lagi
pemberontakan yang besar di bagian daerah kadie Buton di pulau Wawoni
Barata Wuna. Sebanyak 3000 prajurit raja-raja bersama mentrinya bergi
berperang menggempur pemberontak, namun karena kurangnya persenjataan di
sana pasukan banyak tewas dan luka-luka. Namun akhirnya aksi tersebut
juga berhasil di tuntaskan.
b. Makar
Daratan Wuna 1816-1824
sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu
Asraruddin; 1799-1823)
Pada
tahun 1816 seorang bangsawan Bone, Arung Bakung, melakukan aksi makar di
Barata Muna atas provokasi seorang ulama bernama Syarif Saleh. Arung
Bakung mengawini putri Raja Tiworo, dan oleh karena itu ia cukup
berpengaruh di Muna. Ia dan pengikutnya yang berasal Makassar dan
Mindanao melakukan aksi separatisme terhadap Bau-bau. Arung Bakung
menjadi sempalan bagi Buton selama bertahun-tahun. Dalam aksi
pemberontakannya, ia dilindungi oleh Raja Konawe dan Laiwui (Zahari
1977: III, 23). Pemberontak ini baru menyerah pada tahun 1824 dibawah
pimpinan Sultan Muhammad (Idrus Kaimuddin I; 1824-1851), dua tahun
setelah Sultan Dayyan Asraruddin turun tahta (Suryadi; 2008).
C. Penutup
Demikianlah
beberapa Intrik sosial politik yang terjadi semasa berdirinya kerajaan
Buton sampai masa Kesultanan di awal abad ke-19. Satu “Sumpah” yang
selalu dipegang dengan menghadapi segalah konsekwensinya. Keistimewaan
Kejayaan dan Keagungan Kesultanan Buton, Sosial Budaya Buton, Kearifan
Lokal, Manuskrip Kesultanan Buton, Aksara Wolio, Bendera Wolio, Lambang
Kesultanan Buton, Benteng Keraton Buton, Istana Buton, Mata Uang Buton,
Falsafah Buton, dan yang paling fenomenal adalah Undang – Undang Dasar
Kesultanan Buton ( Tartabah Tujuh ) adalah bukti yang tidak terbantahkan
bahwa sesungguhnya pernah Ada sebuah kerajaan kesultanan yang Agung dan
mewarnai perjalanan perkembangan Nusantara. Berawal dari negeri yang
miskin lalu menjadi daerah pusat perdagangan paling aman dan disegani di
awal abad ke-20. Begitulah cara Kesultanan Buton membangun negrinya
hingga bertahan lebih dari 600 tahun.
Sebagai kata penutup saya mengutip
kata-kata Kapitalao Jitanggalawu yang juga pernah dikutip Suryadi dalam
artikelnya
Karena Sahabat
(Rusman Bahar) orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan artikel
ini, maka jikalau ada salah pun melainkan maaf juga kepada pembaca.
Tamat.
Oleh: Rusman Bahar
LM
Makassar 23 februari 2010
Rujukan
<!-- Rabani
La Ode; 2004 Morfologi
Dan Infrastruktur Kota Buton 1911-1964 The 1st International Conference
Urban History,, Surabaya, 23 rd-25th 2004:
<!-- mu'jizah
2007 Duka Cita Sultan Kaimuddin, Buton,Kepada Raja Bone
<!-- Horst
h. Liebner 2007, Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada
VOC di Pulau Kabaena, Mac-Mei 1650
<!-- jawa
Pos 10/2009 Nusantara, Festival Tutturangiana Andaala;
<!-- Suryadi
2009, Temuan Dokumen Sejarah Sulawesi Tenggara: Surat Tertua Kerajaan
Buton dari Abad Ke-17; Kode Naskah K.Ak.98,
<!-- Suryadi
2007, Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni
Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden;
<!-- zuhdi;1999,
Labu Rope Labu Wana;
<!-- Mane
Oba La Ode; 2009, Provinsi Buton Raya Suatu keniscayaan sejarah;
<!-- Suryadi
15 maret 2008; Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan
Kaimuddin I. Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda
Komentar baru tidak diizinkan.