STRUKTUR KESULTANAN BUTON



DARI KEKUATAN DAN DIPLOMASI


A.    Sepatah Kata

      Kerajaan Buton yang berdiri sejak 1332 M, awalnya merupakan kerajaan yang kecil yang terdiri empat wilayah kekuasaan (Pata limbona), kemudian menjadi Sembilan Wilayah Kekuasaan (Sio Limbona) yang dipimpin masing-masing oleh seorang Mentri (Bonto). Seiring perkembangan waktu, wilayah kerajaan/kesultanan Buton semakin luas hingga terdiri dari empat kerajaan Barata (wilayah Otonomi dengan raja tersendiri namun tunduk pada Kerajaan/Kesultanan Buton dan bertugas melindungi Kedaulatan Buton) dan 72 wilayah Kadie.
Dengan tercetusnya perjanjian “Persahabatan Abadi” tahun 1613 dengan Belanda, Kesultanan Buton yang sebelumnya di anggap merupakan wilayah kekuasaan dari Ternate atau Gowa oleh orang-orang Eropa ternyata memperlihatkan Kedaulatannya. Ini adalah Kepandaian Kesultanan Buton (La Elangi) dalam bidang Diplomasi, yang secara tidak lansung dengan adanya perjanjian tersebut, maka Kedaulatan Kesultanan Buton mendapat pengakuan oleh bangsa Eropa (Belanda-Inggris-Portugal) berikut wilayah dan kekuasaannya.

B.     Etnik Buton
Masyarakat yang mendiami kesultanan Buton, terdiri atas beberapa Suku asli, adapun suku-suku tersebut adalah:
·         Suku Wolio yang mendiami Pulau Buton (pulau utama), bahagian selatan dan Kepulauan Tukang Besi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya;
·         Suku Maronene yang mendiam  Pulau Muna, Kabaena, Buton bahagian utara, Poleang, Rumbia di jazirah tenggara Sulawesi;
·         Suku laut bajoe (bajau) yang mendiami pesisiran pulaupulau Buton, Muna dan beberapa pulau yang lain (Yunus 1995a:23).
Orang Buton memiliki semangat bahari dengan corak kebudayaan yang berkait dengan laut dan adalah satu kumpulan etnik perantau di Indonesia (Southon 1995; Abdul Munafi dkk. 2002; Tenri & Sudirman 2002; Schoorl 1993:66-69).

C.     Struktur Masyarakat Buton
1.      Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat), iaitu keturunan  garis bapak dari pasangan raja pertama. Laki-laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa Ode. 
2.      Walaka, iaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka termasuk elit penguasa. Melalui sistem tertentu, lelaki Kaomu boleh menikahi perempuan Walaka.
3.      Papara atau disebut juga “orang gunung” (Encyclopaedie 1917:16), iaitu anggota masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka disebut juga budak adat (Schoorl 1986) dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
4.      Babatua (budak) yang berhak diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
5.      Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darjatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya (Schoorl 2003:213-14)

D.    Luas Wilayah Kesultanan Buton
Wilayah Kesultanan Buton (121,40° dan 124,50° LS;  4,20° dan 6,20° BT) meliputi gugusan kepulauan di jazirah tenggara Pulau Sulawesi, yaitu Pulau Buton (di sini terletak kota Bau-Bau dimana istana kerajaan dibina), Pulau Muna (atau Woena atau Pancano), Pulau Kabaena, Pulau-pulau kecil antara Pulau Buton dan Muna (yaitu Pulau Tiworo, Tikola, Tobeya Besar dan Tobeya Kecil, Makassar [Liwotu], Kadatua [Kadatowang], Masiring, Bata Oga, Siompu, Talaga Besar dan Talaga Kecil), Kepulauan Tukang Besi (terdiri atas Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko), Poleang dan Rumbia di jazirah Sulawesi Tenggara, Pulau Wowoni, dan sejumlah pulau kecil lainnya yang terletak di sela-sela pulau tersebut yang tidak kelihatan di peta (Encylopaedie 1917:104-05; Zuhdi dkk. 1996:5; Yunus 1995a:22)

E.     Wilayah Buton
a.       Wilayah kesultanan terdiri atas tiga bahagian (Yunus 1995a:v).
1.      Wilayah Wolio atau keraton yangmenjadi pusat pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah kesultanan. Wilayah wolio hanya boleh dihuni golongan kaomu dan walaka (bangsawan).
2.      “Wilayah Kadie” (wilayah di luar keraton, seluruhnya berjumlah 72 kadie) yang dimiliki golongan penguasa dan dihuni golongan papara.
3.      kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “wilayah Barata”, yangmemiliki pemerintahan sendiri tetapi tunduk ke bawah kekuasaan pemerintah pusat setelah ditaklukkan.
b.      Ada empat wilayah kekuasaan Barata yang masingmasing dipimpin Lakina Barata dari golongan Kaomu, iaitu:
1.      Barata Muna yang berpusat di Raha, di pesisir timur bahagian tengah Pulau Muna;
2.      Barata Tiworo yang berpusat di Tiworo;
3.      Barata Kalingsusu (Kalincusu) yang berpusat di bahagian timur pulau Buton;
4.      Barata Kaledupa yang berpusat di Kaledupa (Yunus 1995:22).
Barata harus membela Kesultanan Wolio melawan musuh-musuhnya. Lebih jauh mengenai kewajipan barata terhadap Kesultanan Wolio (Buton), (Schoorl 2003:92).
Kekuasaan pusat dipegang golongan kaomu dan walaka yang berkedudukan di Keraton Wolio di Bau-Bau. Mereka menjadi penguasa yang tertinggi untuk ketiga-tiga wilayah itu (wolio, kadie dan barata).

F.      Struktur Jabatan Pemerintahan
Struktur pemerintahan Buton bersumber pada sifat kemanusiaan Martabat Tujuh, yang tersusun ke dalam kepangkatan dan jabatan pelaksana secara hirarkis dari atas ke bawah. Susunan itu mengacu pada proses kejadian alam: Ketuhanan dan Kehambaan. Susunan itu tampak dalam proses kejadian Alam Ketuhanan dan Alam Kehambaan:
1. Alam Ketuhanan
·         Ahdiah (La-Ta‘-Yun) = Zat = Sulthan
·         Wahdiah (Ta‘-Yun-Awal) = Nur Zat = Sapati
·         Wahidia (Ta‘-Yun-Tsani) = Nur Muhammad = Kenepulu
2. Alam Kehambaan:
·         Alam Arwah = Nuthfah = Kapitalao
·         Alam Mitsal = Alaqah = Bonto Ogena
·         Alam Ijsam = Mudgah = Bonto Siolimbona/Bobato
·         Alam Insan = Jisim insan = Parabela

1)      Sultan sebagai penguasa yang tertinggi kerajaan itu dibantu beberapa pejabat yang tinggi di pusat dan pejabatpejabat di daerah. Secara umum, birokrasi Kesultanan Buton adalah seperti yang berikut:
2)      Pangka atau pejabat teras (rijksgroten) atau dewan swapraja yang disandang golongan kaomu dan walaka, yang terdiri daripada
a)      sapati (kaomu),
b)      kenepulu (kaomu),
c)      lakina surowalio (kaomu),
d)      lakina baadia (kaomu);
e)      dua  orang kopitalao: kapitalao sukanayo dan matanayo (kaomu),
Kapitalao atau kapiten laut dalam bahasa Melayu adalah jabatan panglima perang di Kesultanan Buton. Kata matanayo bererti “dari matahari terbit” dan sukanayo bererti “menuju matahari terbenam”. Istilah itu dilekatkan kepada jabatan kapitalao dan bonto ogena untuk  penunjuk wilayah wilayah kerajaan di sebelah timur dan barat yang menjadi wewenang masing-masing (lihat Zuhdi dkk. 1996:28; Shoorl 2003:82).
f)        dua orang bonto ogena (menteri besar): bonto ogena sukanayo dan matanayo(walaka).
3)      Sarana (Dewan) Wolio terdiri daripada semua bobato (kaomu) dan bonto (walaka).
Semua bobato dan bonto diberi sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie untuk diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang. Namun, jumlah itu bertambah seiring dengan pemekaran wilayah kadie. Manarfa (1948: 8) mencatat jumlah bobato 57 orang. Sembilan di antaranya disebut siolipuna, yang bererti sembilan negara kecil di bawah perintah seorang raja, dan membentuk sekutu asli (Schoorl 2003:83). Mereka adalah Bontona Peropa, Bontona Baaluwu, Bontona Gundu2, Bontona Barangkatopa (mereka disebut patalimbona, ‘empat pemukiman’), Bontona Siompu, Bontona Wandailo, Bontona Rakia, dan Bontona Melai. Semua dijabat oleh golongan walaka (Schoorl 2003:82; lihat juga Zuhdi dkk. 1996:30).
4)      Siolimbona (sembilan kepala wilayah pemerintahan daerah) daripada golongan walaka yang menguasai adat dan bertugas menjaganya.
5)      Sarana hukumu adalah badan yang mengurus dan mengawasi masalah yang berhubung dengan ajaran Islam dan ibadah. Mereka adalah lakina agama, imamu (imam) dan hatibi (khatib). Kesemua mereka berasal daripada golongan kaomu.
6)      Kakitangan khas kesultanan meliputi bonto inunca atau kakitangan di istana (walaka); bontona lencina kanjawari, iaitu kakitangan khas yang membantu tugas-tugas tertentu (termasuk Bonto Isana dari golongan walaka),
Anggota Bonto Inunca iaitu: Bontona Dete, Bontona Katapi, Bontona Waberongalu, Bontona Kalau, Bontona Wajo, Bontona Sumbamarusu, Bontona Litao, Bontona Tanailandu, Bontona Galampa dan 2 orang Bontona Gampikaro (Sukanayo dan Matanayo). Kesebelas orang bonto ini bertugas menjaga istana dan mengawasi adat.
Kakitangan  yang lain iaitu:
a)          jurubahasa (walaka)
Jurubasa (Jurubahasa) bertanggungjawab kepada syahbandar (Schoorl 2003:126, #8) Jurubicara di tingkat kadie dalam sistem pemerintahan Kesultanan Buton. Van den Berg (1939:470) menulisnya pangalasa.
b)          kapita,sabandara (syahbandar) (kaomu) sebagai otoritas pelabuhan,
Menurut Manarfa (1948:7) jabatan kapita dan sabandara (syahbandar) termasuk pangka, sedangkan Van den Berg (1939) dan Zahari (1977) berpendapat sebalikya. Jabatan syahbandar amat penting karena peran Buton sebagai pelabuhan transit bagi kapal-kapal dagang lokal dan asing yang berlayar dari pelabuhan-pelabuhan di bagian barat Nusantara (misalnya Surabaya dan Batavia) ke wilayah bagian timurnya (seperti Ternate dan Ambon). Di samping itu, jabatan ini penting, juga karena sumber nafkah orang Buton adalah perdagangan dan pelayaran dengan kepintaran yang cukup tinggi dalam membuat perahu dagang (Ligvoet 1878:9). Namun, seperti di beberapa kerajaan lokal lainnya di Nusantara, jabatan  syahbandar Buton juga termasuk kursi “basah” dan sarat dengan penyelewengan (Schoorl 2003:103).
c)         talombo yang membantu bonto ogena (menteri besar) sebagai penyampai maklumat dan pengumuman penting dari sultan,
d)        pangalasan yang bertugas membantu bonto ogena dalam mengumpulkan pajak (weti).
Pentadbiran harian Kesultanan Buton dijalankan sepenuhnya oleh pangka dengan Sultan sebagai pimpinan yang tertinggi. Namun, dalam urusan yang penting, antaranya diplomasi ke luar, unsur bonto dan bobato wajib diajak serta dan dibawa berunding.

G.    Tambahan Penutup
1)      Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton
Gerakan  Islamisasi di Buton bermula daripada ketokohan raja dan dimantapkan dengan penyusunan undang-undang kerajaan berdasarkan ajaran Islam dengan tersusunnya Undang-Undang Dasar (UUD) Kesultanan Islam Buton itu disebut Martabat Tujuh dan Adat Istiadat Azali (Ida 1996 & Said 1984). UUD Kesultanan Buton ini lahir daripada jasa besar Sultan ke-4 La Elangi (1578-1615 M) Dayanu Ikhsanuddin yang dibantu orang keturunan Arab, Furus Muhammad. Seperti namanya, Martabat Tujuh berisikan dasar-dasar moral pemerintahan kesultanan yang berintikan tujuh ajaran pokok untuk mengatur etika hidup bermasyarakat dan bernegara dalam pemerintahan kesultanan Buton.Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh itu berasal dari konsep tasawuf Martabat Tujuh dari tasawuf Ibn ’Arabi (Noor 1996: 14) yang kemudian diubah ideanya untuk menjaga kepentingan politik dan pemerintahan sultan Buton. Dalam UUD, Martabat Tujuh itu telah berisikan syarat-syarat yang wajib dipenuhi calon sultan, seperti wajib sihat jasmani dan rohani, mengerti tugas dan fungsi pokok seorang sultan, tugas Sapati dan aturan tentang pejabat tinggi negara.( Abdullah Muhammad)
2)      Bahasa dan aksara Kesultanan Buton (Pogau Wolio/Buri Wolio)
Kesultanan Buton memiliki banyak ragam Bahasa, hampir disetiap wilayah Kadie kesultanan Buton memiliki bahasa tersendiri. Namun untuk mempersatukan keragaman tersebut, maka pemerintahan kesultanan Buton menggunakan Bahasa Wolio sebagai bahasa persatuan.
Bahasa Wolio diklasifikasikan sebagai bahasa dari golongan bahasa Sulawesi Tenggara yang termasuk ke dalam golongan bahasa Austronesia Barat (Tsuchiya, Kato, dan Fukami eds. 1991). Pada masa lalu, bahasa Wolio dipakai orang Wolio di pejabat kerajaan/kesultanan Buton sebagai bahasa pemerintahan, selain bahasa harian. Kini, bahasa Wolio dipakai orang Wolio, terutamanya di bekas istana kesultanan, iaitu Keraton Wolio dan sekitarnya.
Aksara Wolio ditulis dalam Jawi Wolio. Dalam bahasa Wolio, Jawi Wolio disebut sebagai “buri Wolio”. Jumlah dan jenis huruf Arab yang digunakan untuk “buri Wolio” banyak kesamaan dengan huruf Arab yang digunakan untuk Jawi umum, iaitu terdiri dari 36 huruf. Namun, ada sedikit perbezaan dalam jumlah dan jenis huruf Arab untuk “buri Wolio” berdasarkan zaman pembuatannya, sehinggakan mulai saat ini hal tersebut masih lagi menjadi persoalan yang harus dikaji dengan lebih lanjut. Dalam bahasa Wolio, ada lima vokal tunggal (simple vowel ), iaitu a, i, u, e dan o. Untuk vokal a, i dan u, digunakan tanda vokal yang sama dengan tanda yang digunakan dalam bahasa Arab. Untuk vokal e, tanda vokal yang berbentuk seperti ‘v’ ditulis di bawah huruf, dan untuk o tanda ‘v’ ditulis diatas.
Tidak banyak masyarakat di Asia Tenggara yang telah mengembangkan teknik tulisan “Jawi non-Melayu/Indonesia”. Dari segi nilai langkanya, manuskrip Jawi Wolio adalah suatu yang sangat berharga. Sehingga ke saat ini, penyelidikan tentang manuskrip “Jawi non-Melayu/Indonesia” belum cukup (hiroko k. Yamaguchi, 2007,)
3)      Falsafah Buton
Social  orang Buton pra-Islam itu memiliki empat nilai seperti yang berikut:
·         Pomae-maeka:
 saling menghargai dan menyegani untuk menjaga kehormatan dan martabat sesama anggota masyarakat,
·         Poma-Maasiaka:
 saling mengasihi dan menyayangi sesama anggota masyarakat,
·         Popia-piara:
 saling menjaga perasaan sesama anggota masyarakat;
·         Poangka-angkataka:
 saling mengangkat derajat dan martabat sesama anggota masyarakat
Dalam kerangka menjaga kestabilan individu, sosial dan negara, orang Buton berpegang kepada falsafah perjuangan Islam yang membuat perekat komunikasi sosial-kemasyarakatan. Nilai yang terkandung dalam falsafah
perjuangan itu adalah boleh dihurai seperti yang berikut:
·         Bolimo harato somanamo karo
Janganlah memikirkan harta benda, yang penting ialah keselamatan diri.
·         Bolimo karo somanamo lipu
Janganlah memikirkan diri, yang penting ialah Keselamatan negeri
·         Bolimo lipu somanamo syarah
Janganlah memikirkan negeri, yang penting ialah Keselamatan pemerintahan/adat
·         Bolimo syarah somanamo agama
Janganlah memikirkan pemerintahan/adat, yang penting ialah Keselamatan Agama
Dapat dipahami sesungguhnya Kesultanan Buton memandang Agama dalam hal ini agama Islam adalah diatas dari kepentingan segalahnya
4)      Raja – Raja dan Sultan Yang pernah berkuasa:
A. Raja-raja:
1)         Rajaputri Wa Kaa Kaa
2)         Rajaputri Bulawambona
3)         Raja Bataraguru
4)         Raja Tuarade
5)         Rajamulae
6)         Raja Lakilaponto (Murhum)
B. Sultan-sultan:
1)         Sultan (Lakilaponto) Murhum (1491-1537 M)
2)         Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3)         Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4)         Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5)         Sultan La Balawo (1617-1619)
6)         Sultan La Buke (1632-1645)
7)         Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8)         Sultan La Cila (1647-1654 M)
9)         Sultan La Awu (1654-1664 M)
10)     Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11)     Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12)     Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13)     Sultan La Umati (1689-1697 M)
14)     Sultan La Dini (1697-1702 M)
15)     Sultan La Rabaenga (1702 M)
16)     Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17)     Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18)     Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19)     Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20)     Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21)     Sultan Hamim (1752-1759 M)
22)     Sultan La Seha (1759-1760 M)
23)     Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24)     Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25)     Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26)     Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27)     Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28)     Sultan La Dani (1823-1824 M)
29)     Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30)     Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31)     Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32)     Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33)     Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34)     Sultan Muh. Husain (1914 M)
35)     Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36)     Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37)     Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)  
38)     Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M). 

Inilah Kerajaan/Kesultanan Buton, walaupun dalam sejarah nasional Indonesia, hampir tidak dikenal, namun bagi Bangsa Eropa, Buton adalah salah satu Kerajaan/kesultanan di Nusantara yang sangat diperhitungkan, karena kekuatan dan kepandaian berdiplomasinya. Buton memiliki andil yang besar dalam penaklukan kerajaan Gowa 1666-1669 dan Tahun  1835 Kerajaan Belanda memberikan penghargaan kepada Muhammad Idrus (Sultan ke-29 Kaimuddin I ;1824-1851) karena jasanya dalam membantu Belanda, mendamaikan perlawanan Kerajaan Bone terhadap Belanda (1824), dan turut membantu Belanda dalam menumpas perlawanan Diponegoro (1825-1830).

Oleh; Rusman Bahar LM  
 Makassar 23 februari 2010

Rujukan

·         Abdul Munafi, La Ode dan Andi Tenri. 2002. Tradisi Perantauan Orang Buton: Suatu Kajian Strukturalisme. [Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Dayanu Ikhsanuddin, Bau-Bau].
·         Abdullah Muhammad, Manuskrip Keagamaan dan Islamisasi di Buton Abad 14-19
·         Hiroko k. yamaguchi, 2007, Manuskrip Buton: Keistimewaan dan Nilai Budaya
·         Suryadi 2007 Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden
·         Schoorl, Pim. 2003. Masyarakat, Sejarah, dan Budaya Buton. Jakarta: Djambatan.
·         Yunus, Abd. Rahim. 1995a. Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19. Jakarta: INIS (Seri INIS XXIV).
·         Zuhdi, Susanto, G. A. Ohorella & M. Said D. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

NEGERI BUTUNI;BUTON;BUTUNG; BOETON;BOETOENG;BOUTON;BOUTHON;BOUTHONEZE; BUTONESE SULTANATE KEAGUNGAN MAHAKARYA BUDAYA

Powered By Blogger