MENGHIDUPKAN KEMBALI KESULTANAN BUTON


 “KESULTANAN BUTON DALAM BINGKAI DEMOKRASI REPUBLIK INDONESIA

Sebuah pertanyaan yang seharusnya mampu dijawab oleh masyarakat Buton dan begitu penting untuk dicarikan jalan keluar. Pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Seorang Dosen FKIP unhalu yang dimuat dalam kolom opini BaubauPost itu memberikan ruang kepada pembaca untuk besama-sama memikirkan “Siapa Sultan Buton Untuk FKN VIII 2012???”. Begitulah pertanyaan yang dilontarkan oleh La Ode Balawa. Saya yakin, pertanyaan itu tidak dimaksudkan hanya untuk mengisi Kekosongan Sultan Buton dalam rangka mengikuti Festival Keraton Nusantara saja, namun lebih dari  itu, melainkan jabatan Sultan dan segala perangkatnya yang berkesinambungan dan terus berjalan menjadi sebuah alur kebudayaan baru tanpa menghilangkan sifat asli KeButonan itu sendiri,  serta mampu merangkul kembali peradaban Kesultanan yang sudah mulai terpecah belah menjadi bagian-bagian kecil yang  berdasarkan etniksentrik dan kedaerahan. Lalu bisakah kita menyusun kembali peradaban Kesultanan Buton itu sendiri terutama dalam lingkup wilayah NKRI yang tidak memperbolehkan adanya negara didalam sebuah negara? Jawabannya, Pasti Bisa. Bagaimana caranya? Inilah yang harus kita pikirkan bersama, namun sebagai orang Buton saya mencoba menyumbangkan pendapat saya yang dengan ini semoga bisa memberi pandangan baru yang dapat menjadi sebuah Solusi, namun Tidak menutup kemungkinan dari pembaca bisa menawarkan alternatif yang lebih baik lagi
Sebelum menjawab pertanyaan Kritis yang diugkapkan Bapak La Ode Balawa dan juga ditanyakan oleh Sebagian besar pemerhati Budaya Kesultanan Buton, terlebih dahulu, kita harus memikirkan bagaimana cara kembali merangkul daerah-daerah lain yang mulai terpinggirkan dari peradaban Kesultanan Buton, lalu benih perpecahan yang telah tumbuh dalam wilayah Kesultanan Buton harus diminimalisasi bila perlu dihilangkan.
A.  Upaya meminimalisasi Perpecahan di Kesultanan Buton
Sebelum kita bertanya bagaimana menghidupkan lagi kebudayaan Kesultanan Buton, maka upaya untuk menyatukan kembali daerah-daerah yang pernah menjadi wilayah Kesultanan Buton adalah hal yang sangat penting dan wajib dilakukan. Jangan sampai, kebesaran dan Keagungan Kesultanan Buton hanya didengung-dengungkan oleh masyarakat yang ada di Kota Baubau saja. Untuk itu ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu:
1.      Membangkitkan Rasa KeButonan, Menghilangkan Ego, dan Menyatukan persepsi, Siapakah Orang Buton Itu?
Bermula sejak masuknya Kesultanan Buton kedalam wilayah NKRI, dimana akibat luasnya wilayah Kesultanan Buton membuat para pemimpin-pemimpin lokal melakukan pemekaran menjadi beberapa kabupaten. Pemekaran inipun tidak di manage sedemikian rupa lalu benih Perpecahan itupun mulai tumbuh, misalnya Sebagian orang Kabupaten bombana, yang merasa punya kerajaan sendiri yang tidak terkait dengan Kesultanan Buton, Sebagian Orang Muna (suku muna), dan juga dulunya sebagian orang Buton Utara merasa orang-orang Buton tidak menganggap wilayah mereka adalah bagian dari Kesultanan Buton malah kadang sebagian orang  Baubau sendiri sekarang menganggap dirinya bukan lagi orang Buton melainkan orang Baubau. Inilah yang menjadi persoalan, ada daerah yang menganggap mereka bukan Wilayah Kesultanan Buton namun ada juga justru sebaliknya. Selain rasa kedaerahan, rasa kesukuan juga begitu sangat tinggi, jika tidak diolah, perpecahan berdasarkan suku ini bisa jadi sangat merugikan bagi kelanjutan Kebudayaan Kesultanan Buton. Bagaimana cara menyatukan lagi mereka yang merasa terpisahkan oleh Kesultanan Buton? ya, kita harus kembali melihat dan memahami sejarah bagaimana kerajaan Buton itu didirikan. Semua sependapat bahwasanya kerajaan Buton didirikan bahkan bukan hanya dari penduduk asli Buton saja melainkan peran dari bangsa-bangsa lain yang semula membentuk perkampungan di Pulau Buton. mereka yang berasal dari melayu, jawa, cina mempunyai andil besar dalam membangun peradaban Kesultanan Buton, namun mereka tidak mengatasnamakan suku atau bangsa mereka, yang ada hanyalah Kerajaan Buton/bangsa Buton dengan segala alkulturasi Budayanya. Seiring berkembangnya, Kerajaan dan Kesultanan Buton memiliki luas wilayah seperti yang kita kenal sekarang, maka cangkupan suku-suku yang berada dalam wilayah Kesultanan Buton pun juga semakin banyak dan kompleks. Jadi berdasarkan pemahaman sejarah diatas, orang Buton itu dimaksudkan bukanlah sebuah daerah atau pulau apalagi sebuah suku, namun sesungguhnya Orang Buton itu adalah gambaran penilaian terhadap sebuah bangsa.
Dengan demikian kita bisa mengerti siapakah orang Buton itu sesungguhnya? Mereka adalah orang yang lahir dari orang tua dimana ayah dan atau leluhurnya pernah menempati, hidup dan dibesarkan serta mempunyai keturunan dalam wilayah Kesultanan Buton, dan menjadi bagian dari budaya masyarakat Buton itu sendiri, dengan dan atau tanpa kekuasaan seiring perkembangan dan peradaban sejarah Kesultanan Buton. Dengan sedikit mengurangi ego, maka tidak ada lagi suku Buton tersendiri, suku muna tersendiri, bajo, maronene namun yang ada hanyalah Orang Buton.
Dengan pemahaman tersebut semua bisa bilang dan yakin “saya adalah orang Buton”. walaupun mereka bilang saya suku muna lahir di Tiworo, tapi saya adalah orang Buton. saya suku maronene, tapi saya orang Buton. Mereka boleh bilang saya lahir di Wakatobi atau Kendari, makassar, Papua, Kalimantan, Jawa, Malaysia dan dimanapun diwilayah Bumi ini, Tapi saya tetap Orang Buton. Pada akhirnya sekarang saya bisa bilang “Saya adalah Orang Buton, jadi saya mempunyai hak dan berkewajiban untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan bangsa Buton”. dengan demikian rasa kepemilikan terhadap Kesultanan Buton itu akan kembali muncul, sebagaimana rasa kepemilikan kita terhadap pahlawan pemersatu, yang tidak lain adalah Halu Oleo/Lakilaponto/Murhum.
2.      Memahami bahwa Kesultanan Buton itu bukan milik Kota Baubau apalagi milik pemerintah Kota Baubau, bukan milik Pulau Buton dan bukan pula milik Suku Buton tapi Kesultanan Buton adalah milik orang Buton.
Rasa kepemilikan orang Buton terhadap Kesultanan Buton yang jauh dari pusat Kesultanan (Kota Baubau) makin lama semakin terkikis. Ini menjadikan daerah lain lebih cenderung mengankat kebudayaan daerahnya sendiri yang telah berkembang sejak zaman Kesultanan Buton, namun keterkaitannya dengan Kesultanan Buton pada akhirnya lambatlaun dihilangkan. Begitupula Pemerintah Kota Baubau yang selau mengangkat kebudayaan Kesultanan Buton tanpa  melibatkan peranan daerah lain yang seolah-olah Kesultanan Buton hanya ada di Kota Baubau saja. Ada baiknya, Jika ada event-event yang menyangkut Kesultanan Buton, maka semua daerah berhak untuk ikut serta, dan event tersebut jangan hanya dilaksanakan di kota Baubau, namun juga didaerah-daerah yang dulunya pernah menjadi wilayah Kesultanan Buton. lain halnya jika event itu menyangkut kebudayaan lokal, misalnya kebudayaan wolio, tidak masalah jika itu hanya di adakan di Baubau. Selain itu, komunikasi antara pemimpin-pemimpin daerah yang dulunya pernah menjadi bagian dari Kesultanan Buton dalam rangka mengangkat Kebudayaan Kesultanan Buton harus lebih ditingkatkan, sehingga event-event mengenai Kesultanan Buton mendapatkan respon yang baik dari daerah lain.
3.      menyadari Orang Buton adalah milik Kesultanan Buton, bukan milik daerah lain, apalagi bangsa lain.
Kebudayaan Bahari Kesultanan Buton sudah terkenal sejak dulu dengan keberaniannya mengarungi samudra, kebudayaan bahari Kesultanan Buton telah tercatat dalam tinta emas oleh sejarah bangsa-bangsa lain. Tidak heran jika sebagaian besar pulau-pulau yang ada di Nusantara banyak terdapat orang Buton, terutama yang beprofesi sebagai pelaut atau nelayan. Walaupun tidak jarang ada juga yang menjadi orang penting namun identitas kebutonan itu tidak sertamerta hilang. Saya kadang melihat, falsafah Buton justru lebih banyak diimplementasikan oleh orang-orang Buton diluar sana dibanding orang-orang Buton  yang ada di Baubau, namun kadangkala keberadaan mereka hanya dipandang sebelah mata. Mereka tidak pernah dilibatkan dan melibatkan diri dalam acara-acara yang menyangkut dengan kebudayaan Buton, meskipun mereka mempunyai Forum-forum atau Kelompok Komunitas Buton didaerah tempat mereka berada yang memudahkan untuk mereka dihubungi. Sebagai orang Buton dirantauan, hak mereka dalam pengembangan dan pelestarian Budaya Kesultanan Buton sama besarnya dengan hak mereka-mereka yang berada di Kota Baubau, begitu pula kewajiban mereka. Namun kebanyakan Forum-forum tersebut kadangkala hanya untuk digunakan demi kepentingan politik daerah setempat dan tidak untuk mengangkat kebudayaan Kesultanan Buton.
4.      Memahami bahwa undang undang Kesultanan Buton adalah undang-undang yang fleksibel
Sejak Kerajaan Buton didirikan, Undang Undang Kerajaan Buton sudah ada, meskipun kemungkinan Undang Undang itu baru berupa ucapan lisan dari seorang raja. Undang-undang tersebut kemudian berevolusi setelah Buton mengubah statusnya dari Kerajaan menjadi Kesultanan. Setelah masa Kesultanan ke 4 Dayanu Iksanuddin, Undang-undang tersebut Kemudian ditulis dalam bentuk kitab yang berlandaskan Martabat Tujuh. Seiring perkembangan dan kemajuan Intelektual-intelektual Islam di Buton,  Kemudian Undang-undang tersebut kembali mengalami perubahan pada masa Sultan Muhammad Idrus yang menerapkan sitem syariat Islam secara penuh.
Melihat perkembangan Undang-Undang Kesultanan Buton yang selalu mengikuti perkembangan zaman, tidak menutup kemungkinan Undang-Undang Kesultanan Buton dapat disesuaikan dengan keadaan masa kini (dalam wilayah NKRI). Tidak bermaksud untuk merubah Undang-undang tersebut, namun penyesuaian ini bisa dilakukan dengan membuat peraturan-peraturan baru tanpa mengesampingkan peranan lembaga-lembaga Kebudayaan Buton (harus dengan persetujuan lembaga). misalnya dalam hal ini, masa jabatan Sultan harus dibatasi secara periodik. Contoh lain, dululunya Kesultanan Buton Cuma mengenal empat wilayah Baratha, ini kemudian bisa di sesuikan dengan Jumlah Kabupaten yang ada diluar Kota Baubau.
5.      memberikan Kesempatan yang sama tiap  daerah/kabupaten untuk mencalonkan putra terbaik daerahnya untuk dipilih menjadi Sultan Buton dan atau perangkat Kesultanan lainnya, yang dulunya berada dalam wilayah Kesultanan Buton.
salah satu cara terbaik untuk kembali merangkul daerah-daerah lain diluar pulau Buton, yaitu keberadaan Sultan yang tidak harus dimonopoli oleh golongan yang berada di Baubau. Sebaiknya, Sultan yang dipilih selain secara periodik, juga secara bergilir dibeberapa kabupaten lainnya. Dengan kata lain, Semua Kabupaten mempunyai hak yang sama untuk mencalonkan putra terbaiknya menjadi Sultan Buton. Misalnya Sultan sekarang berasal Baubau, maka periode berikutnya dari wakatobi, kemudian Bombana, Muna dan seterusnya. Sehigga kegiatan yang menyangkut Kebudayaan Kesultanan Buton, pada akhirnya selain dapat dilaksanankan di luar Kota Baubau, dapat dilaksanakan di daerah lain. Namun disini ditekankan, pelantikan Sultan harus tetap dilakukan di Baubau sesuai dengan peraturan Undang-Undang Kesultanan Buton yang juga harus dihadiri perwakilan dari setiap Kabupaten yang dulunya berada dalam wilayah Kesultanan Buton.

B.       Menyusun Kembali Struktur Kesultanan Buton demi mengangkat dan mempertahankan Kebudayaan, bukan untuk mencari Kekuasaan.
Saya membayangkan, bagaimana sejarah pendiri-pendiri Kerajaan Buton saat melakukan pertemuan di Wolio kemudian menetapkan Raja pertama mereka Wa Kaakaa itu dapat terulang lagi oleh pemimpin-pemimpin yang ada sekarang (Bupati dan Walikota), namun dalam rangka menghidupkan kembali Kesultanan Buton yang telah lama mati Suri. Ini pastinya akan menjadi sejarah yang manis dalam perjalanan perkembangan Kesultanan Buton. oleh karena itu dalam rangka mempertahankan Kesultanan Buton untuk menjaga Kebudayaan, sekaligus mencoba menjawab pertanyaan dari Saudara La Ode Balawa, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:
1.      menghidupkan kembali kelembagaan Sara (Dewan)/lembaga adat
Dalam sejarahya di Kesultanan Buton, kelembagaan Sara atau Dewan memiliki tugas dalam penentuan, penetapan dan pengangkatan seorang Sultan.  Dewan/Sara (badan legislative) terdiri daripada semua bobato (kaomu) dan bonto (walaka). Pemilihan  Sultan yang baru ditetapkan Jauh sebelum seorang Sultan wafat, berhenti atau diberhentikan, Bonto Sio Limbona (“Menteri Yang Sembilan”)  mengamati putera-putera dari ketiga golongan kaomu tersebut (Kamboru-Mboru Talupalena). Semua bobato dan bonto diberi sebuah desa atau sebidang tanah dalam 72 wilayah kadie untuk diawasi. Semula jumlah bonto 30 orang dan bobato 40 orang. Namun, jumlah itu bertambah seiring dengan pemekaran wilayah kadie. tercatat jumlah bobato 57 orang.
Membentuk Dewan Sara merupakan hal yang penting jika ingin menghidupkan kembali Kesultanan Buton karena tugas dan wewenangnya. Namun jika ini yang kembali dilakukan, maka akan sulit jika dewan ini dibentuk dalam lintas Kabupaten, lain halnya jika Dewan Sara hanya ada di Baubau saja. Oleh karena itu harus ada penyesuaian. Misalnya, ditiap kabupaten didirikan suatu lembaga adat yang memiliki wewenang selain menjaga Kebudayaan setempat dan kebudayaan Buton, lembaga tersebut juga mencetak kader dan menyaring calon Sultan yang siap dilantik oleh dewan sara, khusus untuk di Kota Baubau dewan sara (Siolimbona) harus ada dan mempunyai fungsi yang sama seperti zaman Kesultanan dulu.
Lembaga adat yang ada diluar Kota Baubau tersebut berisikan orang-orang yang memahami adat istiadat daerahnya dan juga Kesultanan Buton yang beranggotakan ditiap kecamatan atau kelurahan termasuk para parabela yang masih bertahan hingga sekarang. Tentu saja Bupati atau walikota dalam hal ini menjadi pembina/penasihat dalam lembaga tersebut.
2.      Proses penseleksian Sultan dan Perangkatnya
Jika lembaga adat seperti poin 1 dapat dibentuk, maka untuk proses penseleksian Sultan dapat dilakukan oleh lembaga adat ditiap kabupaten atau Kota tersebut jauh sebelum Sultan berakhir masa jabatannya. Namun seperti yang diutarakan sebelumnya, masa jabatan Sultan harus secara Periodik dan bergilir ditiap kabupaten dan Kota, misalnya hanya menjabat selama 5 tahun. Untuk kabupaten/Kota yang belum mendapatkan giliran mencalonkan Sultan, proses penseleksian tetap harus dilakukan untuk menempatkan calon tersebut pada posisi selain Sultan, misalnya Sapati, Kenepulu dll. Namun hal ini ditunjuk langsung oleh seorang Sultan yang telah dilantik.
Dalam menjalankan tugasnya Bonto Sio Limbona berpegang pada Kitab UUD Martabat tujuh dan Isdatul Azali. Dalm kitab tersebut terdapat criteria dan syarat-syarat menjadi Sultan. Adapun kriteria Sultan adalah sebagai berikut:
a.    berasal dari golongan kaomu,
b.    harus laki-laki;
c.    memiliki sifat-sifat: sidiq yang berarti benar, tabligh berarti menyampaikan segala hal yang bermanfaat; amanah artinya terpercaya, dapat memegang janji; fathanah artinya lancar dan fasih berbicara. Tidak takabur, tidak sombong, sehat jasmani dan rohani serta mencintai dan dicintai orang banyak.
d.    Sehat jasmani dan rohani,
e.    mengerti tugas dan fungsi pokok seorang Sultan, tugas Sapati dan aturan tentang pejabat tinggi negara.

Jika ada pertanyaan apakah jabatan Sultan harus dari golongan Kaomu? Maka saya menjawabnya harus. Bukan untuk menafikan peranan Orang Buton lainnya, namun ini untuk menjamin Budaya Kesultanan Buton tetap seperti aslinya, sebab jabatan Sultan disini bukan untuk mencari Kekuasaan tapi untuk menjamin kebudayaan agar tetap bertahan. Namun persyaratan tersebut masih dimungkinkan untuk dibuatkan peraturan tambahan, misalnya selain 5 poin diatas, Calon Sultan juga harus memahami sejarah Kesultanan Buton dan mengetahui adat istiadat Kesultanan Buton, selain itu pemegang jabatan tersebut tidak boleh terlibat dalam praktek Politik praktis.
Lalu bagaimana nantinya jika terjadi krisis kader? selama ada Lembaga adat/Dewan Sara dan berjalan baik, maka kader akan selalu ada.

3.      Alternatif pemilihan Sultan
Banyak yang bertanya siapakah penerus Sultan Selanjutnya? Sebelum dibentuknya Lembaga Adat (dewan/Sara) Kesultanan, maka kita janganlah terburu-buru untuk menanyakan siapa penerus Sultan tersebut, sebab keberadaan Sultan yang menjabat sekarang (dr.Izat Manarfa,Msc) adalah sangat penting untuk menjaga eksistensi Kebudayaan Buton. Walaupun saya yakin jabatan yang baginda pikul belum mendapat legalitas dari Sara (dewan), namun keberadaannya dapat mencerminkan Sultan sesungguhnya. Saya membayangkan jika Beliau-beliau tidak mengambil peran ini (LM manarfa Alm, Halaka manarfa Alm, dan Izat Manarfa), maka akan terjadi konflik berkepanjangan untuk menentukan posisi Sultan yang justru membawa pada kemudaratan, dan bisa dipastikan Kesultanan Buton akan benar-benar mati. Biarkanlah mereka bekerja menjaga eksistensi Kesultanan Buton, sampai ada lembaga adat yang bisa memastikan pengganti Sultan yang terbaik.

4.      Hubungan antara pemerintah dan Kesultanan
Seperti yang diutarakan sebelumnya, saya membayangkan Bupati dan Walikota berkumpul dalam satu wadah untuk membentuk lembaga adat (sara) disaksikan oleh pemuka-pemuka adat dan masyarakat untuk membangkitkan lagi Kesultanan Buton. jika peristiwa ini terjadi, maka apa yang menjadi pertanyaan selama ini akan dapat terjawab. Seperti yang saya maksud sebelumnya Bupati atau Walikota akan menjadi pembina/penasihat lembaga adat tersebut, sebab setiap kebijakan yang menyangkut pemerintahan adalah hak dari seorang Bupati atau Walikota, sedangkan yang menyangkut dengan kebudayaan Kesultanan maka harus mendapat persetujuan dari dewan, Sultan  dan pemerintah setempat.

C.     Penutup
Mungkin sebagian orang menganggap saya lancang karena berani bembahas suatu kesakralan adat istiadat dengan pengetahuan yang sangat dangkal. Pertanyaan yang sama pernah dilontarkan bahkan sebelum FKN yang dilaksanan di Gowa, namun sampai saat ini belum ada yang coba menjawab apalagi ditindaklanjuti. Namun jika ini dibiarkan terus, maka akan selalu ada pertanyaan yang sama tahun-ketahun namun tidak akan mendapatkan jawaban.
Saya mencoba memberanikan diri untuk memberikan penilaian atas pertanyaan tersebut, dengan harapan akan lebih banyak lagi pemikiran-pemikiran muncul dalam rangka menghidupkan lagi Kesultanan Buton. Namun apabila pemerintah dalam hal ini Bupati dan Walikota tidak melakuakn inisiatif untuk menghidupkan lagi Kesultanan Buton, maka apa yang menjadi harapan Orang Buton, hanya menjadi angan-angan belaka.
Karena Sahabat (Rusman Bahar) orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan artikel ini, maka jikalau ada salah pun melainkan maaf juga kepada pembaca. Tamat.
Makassar 0301 2011


NEGERI BUTUNI;BUTON;BUTUNG; BOETON;BOETOENG;BOUTON;BOUTHON;BOUTHONEZE; BUTONESE SULTANATE KEAGUNGAN MAHAKARYA BUDAYA

Powered By Blogger