MENGURAI PERJANJIAN BUNGAYA
(Buton, Ternate, Bone dan VOC
Vs Gowa Bima dan
Portugis-Inggris)
A.
Pendahuluan
Ada
begitu banyak referensi dari naskah-naskah yang
dapat dijadikan sumber untuk mengetahui apa yang terjadi dimasa lampau,
walaupun sebagian cuma tersirat, namun kita bisa mencoba menggali apa
pesan
yang disampaikan dari naskah-naskah tersebut. Salah satu naskah yang
menarik
untuk penulis bahas yaitu naskah isi perjanjian bungaya 18 November
1667.
Begitu banyak informasi yang terkandung didalamnya sehingga mungkin bisa
digunakan untuk sedikit meluruskan sejarah yang terabaikan. Penulis
mencoba
membuka ruang bagi pembaca untuk merenungkan dan ikut menggali kebenaran
dari
suatu informasi sejarah.
B.
Kisah
Dibalik
Perjanjian Bungaya
Perjanjian
Bungaya (sering juga
disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang
ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara
Kesultanan
Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan pihak Hindia
Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman. Walaupun
disebut perjanjian perdamaian, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan
Gowa
dari VOC (Kompeni) serta pengesahan monopoli oleh VOC untuk
perdagangan sejumlah barang di pelabuhan Makassar (yang dikuasai Gowa).
Berikut
penulis memila-milah inti dari perjajian
bungaya tersebut dan merangkum beberapa kejadian yang mungkin bisa
menambah
sedikit pengetahuan sejarah.
1.
Pasal
1;
Upaya pemberlakuan perjanjian tahun 1660
Dari
isi
perjanjian bungaya pasal 1 dapat diketahui
sebelum perjanjian bungaya rupanya telah terjadi hubungan yang
intents
antara kerajaan Gowa dengan kompeni di batavia yang menghasilkan
kesepakatan
pada tahun 1660. Jika isi pada perjanjian bungaya mencantumkan untuk
segera
memberlakukan perjanjian yang terjadi pada tahun 1660, maka dapat
disimpulkan
sebelum tahun 1660 kerajaan gowa sudah berada dalam posisi tertekan atas
hegemoni pasukan kompeni, mengingat setiap berjanjian dengan kompeni
pastinya
akan menguntungkan posisi kompeni itu sendiri. Walaupun isi perjanjian
tersebut
tidak dilaksanakan, namun dalam rentan waktu tahun 1660 sampai 1667,
terjadi
banyak peristiwa bersejarah beberapa diantaranya yaitu peristiwa
perlawanan
Arung Palakka terhadap kerajaan gowa lalu meminta suaka politik dari
kesultanan
buton (1660-1663), penyerangan pasukan gowa terhadap kapal VOC Walvisch
tahun
1662 dan Leewin 1664 serta penyerangan kerajaan gowa dan bima ke
kesultanan
buton 1666 akibat suaka yang diberikan kepada Arung Palakka. Lebih jauh
dari
itu, sebelum terjadinya perang makassar 1666-1667, setelah aksi
penyerangan walvisch 1662, pada tahun
1663 kompeni melakukan kunjungan ke Sultanan Buton, lalu ke ternate dan
kembali
lagi ke buton menuju batavia dengan mengikutsertakan Arung Palakka yang
menjadi
buronan Kerajaan Gowa. Jika melihat sejarah buton pada tahun 1637 dan
1638
dimana kompeni menggempur kesultanan buton disebabkan sikap menolak
sultan buton
terhadap kompeni untuk membayar ganti rugi sebanyak 1000 budak ke
kompeni karna
telah menyerang kapal VOC Velzen dan
menawan Elsje janszoon, maka bisa dipahami kebijakan VOC yang
selalu
menggempur kerajaan yang berani melakukan penyerangan terhadap
kapal-kapal VOC
dan menolak untuk mengganti rugi, meskipun kerajaan tersebut sekutu VOC.
Apa
yang terjadi di buton 1636 terjadi juga di makassar 1662. Oleh karena
itu dapat
dimengerti maksud atas kunjungan VOC ke Buton dan Ternate tahun 1663
yaitu
mengingat kerajaan gowa yang begitu kuat, maka VOC berusaha untuk
merangkul dua
kerajaan tersebut demi membalas perlawanan kerajaan gowa terhadap VOC
setelah
Gowa tidak mengindahkan perjanjian 1660 terlebih lagi telah melakukan
aksi
penghancuran kapal perang VOC Walvicsh di kepulauan selayar, dengan
memamfaatkan psikologi Buton dan Ternate yang selalu terancam atas
invasi
Kerajaan Gowa, maka Buton dan Ternate juga berkeinginan ikut menggempur
Kerajaan Gowa. Keinginan VOC itu bak mendapat durian runtuh setelah
mendapatkan
keikutsertaan Arung Palakka yang mewakili Kerajaan Bone untuk bersama
sama
menggepur Gowa setelah pertemuannya dengan Arung Palakka di Kerajaan
Buton,
persekutuan ini akhirnya mengantarkan kemenangan pada perang yang
terjadi pada
tahun 1666 di teluk Bau-bau (buton) dan penaklukan gowa 1667-1669 di
Makassar yang
menyebabkan runtuhnya kerajaan Gowa.
2.
Pasal
2; adanya penghianat VOC.
Pada
pasal
2 tersebut, dapat menjelaskan rakyat
atau pasukan kompeni tidak semuanya berasal dari eropa saja, tetapi
banyak yang
merupakan rakyat pribumi, mereka adalah pasukan-pasukan/laskar dan atau
budak-budak yang diberikan oleh kerajaan sekutu untuk membantu kompeni
Belanda dalam
rangka mempertahankan dominasinya di nusantara. Namun keinginan kompeni
untuk
menguasai bandar perdagangan di Makassar sebelumnya tidaklah begitu
mudah,
selain mendapat perlawanan dari pasukan Kerajaan Gowa, kompeni juga
mendapat
perlawanan dari dalam kompeni itu sendiri terutama rakyat kompeni yang
berkebangsaan eropa (Belanda). Mereka yang membangkang terhadap kompeni,
justru
melarikan diri dan menetap di Makassar, mereka diterima oleh Kerajaan
Gowa,
bahkan diantaranya menjadi pejabat. inilah yang menyebabkan
dimasukkannya poin
tersebut, untuk kembali mengambil para penghianat VOC tersebut untuk
segera di
hukum.
3.
Pasal
3-5;
sangsi terhadap penyerangan kapal VOC yang dilakukan kerajaan Gowa.
Sudah
menjadi kebiasaan bagi kerajaan-kerajaan di
nusantara, apabila berhasil menghancurkan musuh, barang barang yang
ditinggalkan akan menjadi hak rampasan perang bagi pemenang, tidak
terkecuali
Gowa. Rupanya VOC tidak lantas melupakan aksi penyerangan kapal tersebut
dan
ingin meminta pertanggungjawaban atas penyerangan itu, dengan cara
meminta
kembali hak rampasan perang Gowa dan
pembayaran ganti rugi atas harta serta pasukan-pasukan VOC yang telah
dibunuh.
Mungkinkah perjanjian bungaya ini dibuat akibat balasan dari penyerangan
kerajaan gowa terhadap kapal-kapal kompeni sebelumnya? Apakah menjadikan
Makassar sebagai daerah monopoli perdagangan VOC menjadi satu-satunya
motif
penaklukan Gowa dan perjanjian bungaya?
4.
Pasal
6-8; hubungan Gowa Inggris-Portugis dan
upaya kompeni
mengesahkan monopoli perdagangan di makassar.
Makassar
sebagai salahsatu bandar perdagangan yang terbesar dinusantara,
mungkin
juga di Asia Tenggara dapat terlihat dari pasal 6 dan pasal 7. Sebelum
terjadinya perang Makassar 1666-1669, Makassar di penuhi oleh orang
berbagai
bangsa baik itu eropa (Portugis dan Inggris) maupun orang jawa, melayu,
aceh,
dan india. Sebagai pusat pertemuan berbagai bangsa, gowa juga menjadi
tempat
tukar menukar tehnologi dan kebudayaan, itulah yang menyebabkan mengapa
gowa
begitu cepat mengalami perkembangan.
Namun
hubungan Gowa dengan bangsa Portugis dan
Inggris disini agaknya bukan cuma hubungan dagang biasa. Kita
mengetahui,
Portugis dan Inggris tidak berbeda dengan kompeni yang juga suka
menjajah, dan
ketiga bangsa eropa tersebut masing-masing memiliki ambisi yang sama
untuk
menancapkan dominasinya di nusantara termasuk Makassar. Begitu pula
kerajaan
Gowa mempunyai ambisi serupa untuk menjadi bangsa yang menguasai pusat
perdagangan di nusantara. Seperti diketahui, Portugis adalah salah satu
kerajaan yang pertama datang sebagai penjajah diwilayah nusantara
diikuti
dengan Inggris dan Spanyol, Namun
mengapa Inggris dan Portugis justru sepertinya bersahabat dengan
Makassar?
Apakah perlawanan VOC dan sekutunya (Buton, Ternate, Bone) sepenuhnya
dilakukan
oleh pasukan Gowa semata? Apakah saat itu, Portugis dan Inggris juga
turut
membantu pasukan Gowa? Pertanyaan ini mungkin dapat dikaitkan dengan
peristiwa
penyerangan VOC pada tahun 1605 di Maluku, dan peristiwa penyerangan
kerajaan
Papua-Seram ke Kesultanan Buton pada tahun 1796. Dimana kita tahu pada
tahun
1605, VOC menancapkan kekuasaannya di Maluku setelah sukses menggempur
pasukan
Portugis di Ambon dan Ternate dan menghacurkan pasukan Inggris di Seram,
dan
sejak saat itu Inggris dan Portugis menganggap VOC adalah saingan utama
dan
terkuat dalam ambisi memperebutkan dominasi perdagangan di nusantara.
Peristiwa
ini membuat Portugis dan Inggris tidak berani lagi melakukan perlawanan
secara
terbuka terhadap VOC, dan salah satu cara yang terbaik untuk menghadapi
kompeni
yaitu dengan cara Inggris memanfaatkan kerajaan sekutunya untuk
menggempur VOC
dan sekutunya, sebagai contoh pada penyerangan kerajaan Papua-Seram ke
kesultanan Buton pada oktober tahun 1796, dimana penyerangan ini dilatar
belakangi oleh keinginan kedua kerajaan tersebut agar Kesultanan Buton
tidak
lagi bekerja sama dengan Belanda melainkan dengan kerajaan Inggris,
mengingat
pada akhir abad ke-18 tersebut, dominasi Inggris di nusantara sangat
kuat
sedangkan VOC berada diambang kehancuran. Walaupun penyerangan tersebut
dapat
dipatahkan oleh pasukan Buton, namun yang menariknya adalah, seperti
yang
tercatat dalam surat Sultan Buton kepada VOC, sebelum penyerangan
tersebut pada
tahun 1795 delapan buah kapal perang Inggris sebelumnya singgah ke
Kerajaan
Buton mencari seorang berkebangsaan Belanda (serani walandah), namun
dari
informasi Sultan melalui jurubahasanya, orang yang dimaksud sudah
kembali ke
Makassar, yang aneh disini, mengapa pada saat itu pasukan Inggris tidak
menyerang Kesultanan Buton yang telah melindungi buronan Inggris
tersebut,
namun justru kerajaan sekutunyalah (Papua dan Seram) yang menyerang
Buton.
Apakah ini berlaku juga bagi kerajaan Makassar yang nota bene sekutu
Inggris
dan Portugis? Inikah yang menyebabkan kerajaan Gowa sering menginvasi
kerajaan
Buton dan Ternate dan kerajan-kerajaan lainnya? Namun satu hal yang
pasti,
Ambisi Gowa dan persaingan antara VOC dan Inggris-Portugis untuk
menguasai perdagangan di nusantara
dengan perbedaan politik dimana VOC yang
suka perang terbuka dan Inggris serta Portugal yang selalu memanfaatkan
sekutunya menjadi sumber
malapetaka yang menghancurkan kerajaan Gowa. Oleh karena itulah hubungan
Makassar dengan Inggris-Portugis mendapat penilaian yang khusus di
perjanjian
Bungaya (pasal 6 dan 27).
5.
Pasal
9;
upaya kontrol belanda terhadap pelayaran rakyat gowa
Dari
pasal 9
tersebut dapat dilihat, kontrol VOC kepada kerajaan gowa semakin besar,
sehingga orang Makassar boleh berlayar setelah mendapat izin dari
pemerintah
Belanda. Yang menjadi pertanyaan yaitu, mengapa masyarakat gowa hanya
diperbolehkan berlayar ke Bali, pantai Jawa, Jakarta, Banten,
Jambi, Palembang, Johor,
dan Kalimantan?. kemungkinanya yang pasti adalah wilayah
tersebut
pada tahun diadakan perjanjian ini (1667), bukan merupakan wilayah
kerajaan
sekutu VOC melainkan daerah wilayah yang telah ditaklukan oleh VOC.
Mengapa
demikian? Mengingat kerajaan Gowa termasuk kerajaan yang kuat, yang
sebelumnya
telah menjalin hubungan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan Aceh , India
dll
(pasal 7), maka dikuatirkan sisa-sisa pelawanan rakyat Gowa nantinya
dapat
kembali menggalang kekuatan bersama kerajaan-kerajaan yang belum
ditaklukan VOC
sehingga bisa menimbulkan perlawanan yang lebih dahsyat terhadap VOC.
Begitu
pula kompeni tidak mengizinkan rakyat Gowa untuk berlayar ke wilayah
yang
menjadi sekutu Belanda (Buton dan Ternate) dengan alasan yang sama, juga
demi
menjaga hubungan diplomatis antara Buton, Ternate dan VOC. Sehingga
dengan
demikian Belanda hanya memperbolehkan masyarakat Gowa berlayar ke
wilayah-wilayah yang telah ditaklukan oleh VOC. selanjutnya dari pasal 9
tersebut, kerajaan Gowa tidak boleh mengirim kapal (termasuk berlayar)
ke Bima, Solor, Timor,
dan lainnya semua wilayah di timur Tanjung Lasso, di utara atau
timur Kalimantan atau
pulau-pulau di sekitarnya. Kemungkinan inilah sekutu asli dari Kerajaan
Gowa,
selain hubungan berdagangan, Gowa juga menjalin hubungan pertahanan dan
keamanan, mengingat penyerangan Gowa terhadap kerajaan Buton 1666 yang
dipimpin
Karaeng Bonto Marannu juga turut di bantu oleh pasukan Kerajaan Bima.
Begitu
pula timor yang dikuasai Portugis sampai
tahun 1973, dimana Portugis juga termasuk pemasok alat persenjataan di
kerajaan
Gowa, Jadi kemungkinannya yaitu Belanda memasukan poin tersebut agar
Gowa tidak
diberikan peluang dalam rangka menghimpun dan memperkuat kerajaan2
sekutunya
yang dikuatirkan akan balik menyerang
VOC.
6.
Pasal
10-13;
upaya kompeni mengurangi kekuatan kerajaan gowa dibidang pertahanan dan
ekonomi.
Sebagai
bandar perdagangan terbesar di timur
nusantara, pertahanan militer yang kuat adalah salah satu syarat yang
mutlak
untuk menjamin stabilitas negrinya. Dari pasal 10 tersebut dapat dilihat
dukungan kekuatan militer kerajaan Gowa dengan Benteng-Bentengnya yang
tersebar
di hampir sepanjang pantai Makassar, belum lagi ditambah dengan armada
laut
yang didukung 500-an kapal perang dan ratusan ribu laskar dengan
persenjataan
lengkap membuat kerajaan Gowa merupakan kerajaan terkuat di nusantara.
Dari
kesekian banyak benteng yang di miliki Kerajaan Gowa, dalam perjanjian
tersebut,
Belanda hanya menyisahkan satu benteng yang dipakai untuk di tempati
Raja yaitu
benteng Sombaopu. Sedangkan satu benteng lainnya di ambil oleh kompeni
sebagai
benteng pertahanan yaitu benteng Ujung Pandang, yang kemudian di
modifikasi kompeni
dan namanya diganti yang sekarang lebih dikenal dengan nama benteng Fort
Roterdam.
Mengenai
benteng Sombaopu, keberadaannya setelah
perjanjian Bungaya tidak begitu lama. Sisa-sisa perlawanan Gowa terus
terjadi
pasca perjanjian tersebut, sampai puncaknya kompeni dan sekutunya
(Ternate,Bacan,Buton,Bone) menghentikan sisa-sisa perlawanan itu dengan
menghancurkan benteng Sombaopu dan menyita semua perlengkapan perang
Gowa pada
juni 1669. Sejak runtuhnya benteng Sombaopu dan wafatnya Sultan
Hasanuddin
1670, nyaris tidak ada lagi perlawanan
rakyat Gowa terhadap kompeni di makassar.
Selain
kekuatan militer, kerajaan Gowa saat itu juga
didukung oleh sistem perekonomian dan perdaganan yang baik serta
kebijakan
moneter yang kuat, dimana kerajaan gowa menekankan penggunaan mata uang
kerajaan Gowa sebagai alat tukar. Mata uang tersebut bernama jinggara,
berupa
logam emas yang ditengahnya terukir nama Sultan. Selain Jinggara,
kerajaan gowa
juga menggunakan mata uang yang disebut Kupa. Namun setelah perjanjian
bongaya
tersebut, maka mata uang makassar dinyatakan tidak berlaku lagi lalu
diganti
dengan mata uang kompeni. Upaya penghancuran kekuatan pertahanandan
perekonomian Gowa dapat juga dilihat pada pasal 13, dimana kompeni
disini
berusaha menjadikan Gowa Kerajaan yang miskin dan lemah, dimana sejumlah
uang
sebagai alat perekonomian atau budak yang dapat
dijadikan pasukan perlawanan harus diserahkan kepada Kompeni.
7.
Pasal
14
dan 15, hubungan kerajaan gowa dengan kerajaan Bima.
Dalam
sejarah, pengaruh kerajaan gowa terhadap kerajaan
Bima sangatlah kuat teutama pasca runtuhnya kerajaan Majapahit. Pasal 14
menjelaskan hubungan diplomatis ini terjalin selain dalam bidang
politik,
ekonomi, budaya, pertahanan keamanan juga hubungan kekerabatan, dimana
beberapa
bangsawan Gowa menjalin hubungan suami istri dengan bangsawan Bima.
Tidak
sampai disitu, pasukan Bima juga banyak membantu kerajaan Gowa dalam
beberapa
aksi penyerangan dan perlawanan terhadap VOC dan sekutunya. Seperti yang
telah
dijelaskan sebelumnya, pasukan Gowa dan Bima di pimpin raja Bima khair
Sirajudin dan panglima perang Gowa Karaeng Bonto Marannu menyerang
Kesultanan
Buton pada tahun 1666 akibat suaka politik yang diberikan Kesultanan
Buton
terhadap buronan Gowa Arung Palakka, selain itu kesultanan Buton sejak
lama
merupakan incaran kerajaan Gowa demi memperluas wilayah kekuasaanya.
Penyerangan ini mendapatkan perlawanan yang dasyat dari Kesultanan Buton
yang
sebelumnya telah mengetahui akan adanya penyerangan tersebut, dan
akhirnya
pasukan Kerajaan Gowa mengalami kekalahan telak setelah pasukan
kesultanan
Buton mendapat bantuan dari VOC yang didatangkan dari Batavia. Kekalahan
pasukan Gowa dan Bima di teluk Bau-Bau tersebut menjadi petaka bagi
Kesultanan
Bima, dimana selain Karaeng Bonto Marannu pada akhirnya Sultan Bima
Khair
Sirajudin turut menjadi buronan VOC. Dalam pasal 15 menggambarkan posisi
Bontomaranu dan Sultan Bima yang menjadi buronan kompeni, selanjutnya
pada
pasal 26, Sultan Hasanuddin diwajibkan untuk menyerahkan kedua boronan
VOC itu
paling lambat sepuluh hari sejak penandatangan perjanjian Bungaya dan
jika
tidak diserahkan maka keluarga dari boronan VOC tersebut akan ditahan.
Ada
yang ironis mengenai Sultan Bima Khair Sirajudin
dalam sejarah Indonesia sekarang. Nama Sultan
Khair seolah-olah hilang ditelan bumi, dan tidak seharum nama Sultan
Hasanuddin,
sedangkan perjungan baginda tidak kalah garangnya dengan Ayam Jantan
Dari
Timur. Walaupun dapat dilihat pada pada naskah perjanjian Bongaya
tersebut,
Sultan hasanuddin-lah yang akhirnya menyetujui untuk menyerahkan
saudaranya
sendiri (Karaeng Bonto Marannu) dan sultan Bima (Khair Sirajudin) untuk
di
hukum oleh kompeni, namun perjuangan panglima perang Gowa dan baginda
Sultan
Khair Sirajuddin rupanya tidak mendapat perhatian yang lebih dari
pengamat
sejarah Indonesia.
8.
pasal
16-17;
pengembalian hak-hak sekutu VOC, Buton dan Ternate
Pada
pasal 16, Apakah yang dimaksud dengan mereka
yang diambil dari sultan Buton (butuni/butung) dan kapankah penyerangan
terakhir yang dimasud? Kemungkinan yang diambil yaitu wilayah kesultanan
Buton
yang diduduki kerajaan Gowa dan rakyat atau pasukan dari Kesultanan
Buton yang
telah menjadi tawanan kerajaan Gowa. Dalam
perjanjian tersebut kerajaan Gowa harus mengembalikan semua
tawanan yang
masih hidup, dan apabila telah meninggal maka harus dibayar dengan
kompensasi.
Kompensasi tersebut kemungkinan bisa berupa uang tebusan, atau mungkin
nyawa
dibayar nyawa. Lalu kapankah penyerangan terakhir yang dimaksud? Dalam
naskah
Kesultanan Buton, penyerangan terakhir Kerajaan Gowa sebelum perjanjian
Bungaya
yaitu pada tahun 1634 dan 1666. Jika yang dimaksud adalah penyerangan
pada
tahun 1666 di teluk Bau-Bau (Buton), maka pasal tersebut tidak
memberikan arti
apa-apa bagi Kerajaan Buton, disebabkan penyerangan 1666 tersebut
berakhir
dengan kemenangan pasukan Kesultanan Buton bersama VOC dan justru
sebanyak
5000-5500 pasukan Kerajaan Gowa dan Bima menjadi tawanan di sebuah pulau
(sekarang pulau makassar) diteluk Bau-Bau. Kemungkinan besar penyerangan
terakhir yang dimasud adalah penyerangan yang terjadi tahun 1634, dimana
pasukan kerajaan Gowa berhasil menduduki sebagian wilayah Barata Muna
tepatnya
di pulau Wawonii (wilayah Kendari), penyerangan
tersebut mengakibatkan banyaknya prajurit Kesultan Buton yang
tewas dan
menjadi tawanan Kerajaan Gowa. Peristiwa inilah yang membuat hubungan
Buton dan
Belanda menjadi renggang, sebab Kesultanan Buton yang berharap ingin
dibantu
oleh VOC pada masa penyerangan Gowa tersebut, ternyata diabaikan, hingga
terjadi peristiwa aksi penawanan Elsje janszoon dan pembantaian awak
kapal VOC
yang bersandar di Bau-Bau 1636 sebagai protes atas keengganan VOC
membantu Kesultanan
Buton sebagaimana yang tercantum pada perjanjian Persekutuan Abadi 17
desember
1613. Aksi tersebut dibalas dengan
penyerangan Belanda 1637-1638 ke kesultanan Buton, namun VOC tidak bisa
menembus benteng pertahanan Wolio yang menjadi pusat pemerintahan Buton.
sesudahnya
hubungan Buton dan VOC cuma terjalin sesekali, yang pada akhirnya
hubungan
buton dan VOC kembali mesra pada tahun 1650 setelah peristiwa kemalangan
500
laskar armada perang VOC yang terdampar di kepulauan Kabaena
diselamatkan oleh
Kesultanan Buton. peristiwa inilah yang kemudian dijadikan alasan
Speelman
untuk membantu Kesultanan Buton saat 500 kapal perang Gowa-Bima dan
20.000
pasukannya menyerang kesultanan Buton 1666.
Kemudian
di pasal 17, dapat dilihat seberapa luas
wilayah invasi kerajaan Gowa terhadap wilayah yang oleh VOC dianggap
sebagai
wilayah Ternate. Pasukan Gowa mampu menembus wilayah Ternate bagian
selatan di
kepulauan Sula dan berhasil mengambil peralatan perang dan menjadikan
pasukan
Ternate sebagai tawanan kerajaan Gowa. Selain itu Gowa juga gencar
melakukan
penyerangan ke wilayah kepulauan Selayar dan Pansiano (Muna), seluruh
pantai
timur Sulawesi dari Manado ke Pansiano, Banggai, dan Kepulauan Gapi dan
negeri-negeri Mandar dan Manado yang seluruhnya merupakan wilayah
kesultanan
Ternate. Kemungkinan besar, penilaian luas wilayah Keultanan Ternate ini
merujuk pada masa Ternate dipimpin oleh sultan Baabulah Datu Syah
(1570-1583)
setelah mengusir penjajah portugis pada tahun 1575, dimana saat itu VOC
baru
menginjakan kakinya di nusantara. Dibawah kepemimpinana Sultan
Baabullah,
Kekuatan armada perang Kesultanan Ternate begitu menakutkan bagi
kerajaan-kerajaan disekitarnya dan juga pada saat itulah kesultanan
Ternate
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Kesuksesan Sultan
Baabullah ini, menjadikan dirinya
sebagai sultan yang berjulukan penguasa 72 pulau/negeri.
Namun
keberadaan Selayar dan Pansiano (Muna) dalam
teks Bungaya disini menarik untuk dibahas. Dalam sejarah Kesultanan
Buton,
wilayah Muna adalah bagian dari wilayah Kerajaan Buton dan berkerabat
dengan
Kerajaan Selayar. Pada tahun 1491! berkat jasanya melindungi kerajaan
Buton dari
ancaman luar, raja Muna ke-7 Lakilaponto (anak dari Sugimanuru, cucu
raja Buton
ke-2) di angkat menjadi raja Buton ke-6 yang selanjutnya menjadi Sultan
pertama
Buton sedangkan raja Selayar yang turut membantu pasukan Lakilaponto,
Opu
Manjawari diangkat menjadi Sapati (Perdana Mentri) Kesultanan Buton.
Hubungan
Buton-Selayar ini terjalin semakin baik dengan pernikahan Lakilaponto
(Sultan
Murhum) dengan anak Sapati Manjawari yang sebelumnya adalah raja
Selayar, yang
kemudian anak dari pernikahan itu bernama La Sangaji menjadi sultan ke-3
Buton
(1566-1570).
Pada
masa kejayaan Sultan Baabulah Datu Syah,
kesultanan Ternate berambisi memperluas wilayah kekuasaannya dengan
dalil
penyebaran agama Islam. Ekspansi kesultanan Ternate ini menjadi ancaman
bagi
kerajaan-kerajaan disekitarnya, termasuk Buton, Selayar dan Gowa.
Kesultanan
Buton yang saat itu di pimpin Sultan La Sangaji, merasa
terancam atas kekuatan pasukan
Ternate, sehingga memaksa Sultan bersama rakyatnya mengorbankan harta
dan
tenaga mendirikan benteng Keraton Wolio di buton (bau-bau) dan beberapa
benteng
pendukung diwilayah barata kesultanan buton yaitu benteng liya di
kaledupa
(Wakatobi), benteng lipu di kulisusu (Buton Utara), benteng
wara di muna dan Benteng Tiworo yang
selalu siap melindungi benteng Keraton Wolio demi menjaga eksistensi
Kesultanan
Buton. Meskipun begitu, armada Ternate yang sangat kuat akhirnya
berhasil
menduduki sebagian wilayah Kesultanan Buton di wilayah Muna (Pansiano)
dan juga
berhasil memasukan Selayar sebagai wilayah Kesultanan Ternate. Saat
itulah VOC
yang baru menginjakan kakinya di nusantara pada awal abad 16 mengaggap
Kesultanan Buton merupakan wilayah yang miskin dan bagian dari Ternate.
Sepeninggal Sultan Baabulah, Ternate mengalami masa kemunduran.
Kemunduran ini
disebabkan situasi Kesultanan yang tidak stabil akibat perang yang
berlarut-larut melawan Portugis dan Spanyol serta Inggris yang kembali
menjajah
di Maluku dan Ambon, kemunduran kesultanan Ternate ini berbanding
terbalik
dengan Kerajaan Gowa yang mulai mengalami puncak kejayaannya. Kerajaan
Gowa-pun
mulai melakukan ekspansi kewilayah-wilayah kerajaan sekitar Gowa seperti
Bone,
Luwu, termasuk Selayar Ternate dan Buton. keadaan kesultanan
Buton yang sering terancam oleh
kerajaan tetangganya mendapat angin segar
setelah Kontrak resmi yang pertama dengan VOC disepakati pada
awal tahun
1613 ketika seorang kakitangan kompeni, Appollonius Scotte, mengadakan
perjanjian
persahabatan dengan pihak berkuasa setempat. Ternyata kedatangan
kekuatan laut
asing itu telah digunakan Sultan Buton ke-4 (La Elangi) untuk mencari
bantuan
menghadapi aspirasi peluasan daripada Makassar-Gowa. Pasukan gowa
pada akhirnya berhasil merebut Selayar
dari kekuasaan Ternate kemudian mulai menginvasi kerajaan Buton tahun
1624 dan
berhasil menduduki sebagian wilayah Muna (Pansiano) sampai pulau Wawonii
teluk
Kendari pada tahun 1634. Begitulah keadaan Kesultanan Buton dan juga
Selayar
yang menjadi bulan-bulanan dua kerajaan tetangganya. Penilaian Kompeni
tentang
wilayah kerajaan Ternate pada masa kesultanan Baabulah inilah (awal
kedatangan
VOC) yang dimasukan dalam perjanjian Bungaya yang pada akhirnya membuat
hubungan Buton dan Ternate selalu tegang, namun pada akhirnya VOC
menyepakati
kerajaan Muna merupakan Wilayah kesultanan Buton sesuai Undang-Undang
Kesultanan Buton yang sebelumnya telah diakui oleh kompeni pada masa
Sultan La
elangi (1613). Kesultanan Buton kemudian mengangkat Muhammad Idris
menjadi raja
Muna ke-15 (1668-1671!). Sedangkan Kerajaan Selayar yang semula dianggap
sebagai wilayah Ternate kemudian menjadi keresidenan Selayar dibawah
kolonial
Belanda (1739-1942).
9.
Pasal
18-21
Pemberian hak VOC dan negri-negri bugis
Pada
pasal 18 dan 21, Dapat dilihat
kerajaan-kerajaan yang telah dikuasai oleh kerajaan Gowa. bisa
dipastikan
dengan adanya perjanjian Bungaya 1667 tersebut, kerajaan Bone
(negri-negri
Bugis dan Luwu serta Soppeng) akhirnya memperoleh kemerdekaannya
terhadap
kerajaan Gowa. Kemerdekaan ini tidak lepas dari peran Arung Palakka (La
Tenri
Tata Daeng Serang) yang juga merupakan Bangsawan Bone. Pasal 18 tersebut
dapat
menjelaskan bagaimana kerajaan Gowa memberlakukan rakyat Bugis dan
penguasa-penguasanya juga wanita dan anak-anak yang ikut dijadikan
tahanan.
Selain ditahan, tanah-tanah bangsawan Bugis juga ikut dirampas (pasal
19)
Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya perlawanan Arung Palakka
terhadap
kerajaan Gowa yang walaupun masa kecilnya adalah teman dari Sultan
Hasanuddin
itu sendiri. Perlawanan Arung Palakka ini kemudian mendapatkan titik
terang
setelah pelaraiannya dari kejaran pasukan kerajaan Gowa menuju ke
Kesultanan
Buton pada tahun 1660, yang kemudian ikut bergabung dengan VOC (1663).
Perlawanan Arung Palakka ini mencapai puncaknya setelah sukses membawa
Negri
Bone bersama-sama VOC, Buton dan Ternate melakukan perang penaklukan
Kerajaan
Gowa 1666-1667 yang berakhir dengan perjanjian Bungaya 1667 dilanjutkan
dengan
perang perlawanan sisa-sisa pasukan kerajaan Gowa yang berakhir dengan
penghancuran Benteng Sombaopu. Melalui perjanjian ini pula, para
tawanan-tawanan dari kerajaan Bugis akhirnya dibebaskan.
Pada
pasal 20 menjelaskan bahwa daerah Bulo-Bulo
hingga Turatea, dan dari Turatea hingga Bungaya tetap menjadi hak
penaklukan
Kompeni. Dari pasal ini dapat mengisaratkan bahwa daerah ini sebelum
perang
Makassar 1666-1669, VOC sudah berhasil menduduki wilayah tersebut.
Kemungkinannya sebelum tahun 1660, dimana pada akhirnaya Gowa dan VOC
mengadakan perjanjian seperti yang dimaksud pada pasal 1.
Negeri
Bugis lain seperti Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar
adalah juga merupakan wilayah yang telah ditaklukan oleh kerajaan Gowa,
namun
perbedaannya disini, kerajaan-kerajaan tersebut tidak melakukan
perlawanan
kepada kerajaan Gowa seperti Bone Luwu dan Soppeng melainkan justru
menerima
kekuasaan Gowa dan juga setia serta selalu menyertai Gowa dalam segalah
peperangan melawan musuh-musuhnya. Inilah mengapa pasal 21 tersebut
dimasukkan.
10.
Pasal
22
Upaya belanda memantau perkembangan gowa terhadap negri-negri bugis.
Perjuangan
Arung Palakka bersama rakyatnya mendapat
apresiasi yang baik dari Kompeni. Namun
yang menjadi ganjalan bagi kompeni terhadap kerajaan Bugis (Bone)
yaitu
akibat lamanya kerajaan Gowa menguasai kerajaan-kerajaan Bugis tersebut,
maka kemungkinan
beberapa masyarakat dan bangsawan Gowa dan Bugis pastinya sudah menjalin
hubungan misalnya hubungan suami istri dan kekerabatan. Inilah yang
membedakan
Bugis (Bone) dengan sekutu VOC lainnya seperti Ternate dan Buton
sehingga
Belanda memasukan pasal 22 untuk mengatur hubungan Gowa dengan Bugis,
hal ini
dimaksudkan untuk memantau perkembangan masyarakat Gowa yang dikuatirkan
suatu
saat jika mereka (masyarakat Gowa/campuran Bugis-Makassar) mendapatkan
posisi
yang baik dikerajaan Bone (Bugis) nantinya bisa memicu perang saudara
dan
mengancam hubungan diplomatik Bugis (bone) dan Belanda sebab nantinya
akan terdapat
dua pandangan yang berbeda terhadap Kompeni, dimana masyarakat Gowa
menganggap
belanda adalah seorang Penjajah (musuh), sedangkan Bugis (Bone)
menganggap
Belanda adalah sebagai sahabat. Namun apa yang dikuatirkan VOC menjadi
kenyataan beberapa puluh tahun kemudian. Dan puncaknya pada
tahun 1824 terjadi penyerangan oleh
pasukan Belanda kepada kerajaan Bone atas pembangkangannya terhadap
Belanda
yang berujung dengan peperangan dan perubahan perjanjian Bungaya tahun
1824.
Apa yang menyebabkan perjanjian Bungaya 1667 ingin diubah oleh kerajaan
Bone,
sedangkan jika dilihat pasal perpasal isi perjanjian juga menguntungkan
kerajaan
Bone (Bugis), berbeda dengan kerajaan Gowa yang dengan perjanjian
bungaya 1667
sangat dirugikan? Jika yang terjadi pertikaian hanyalah kerajaan Bone
dan
Belanda, mengapa tidak membuat perjanjian baru tanpa harus mengubah
perjanjian
Bungaya 1667? Anehnya pada tahun yang hampir bersamaan, kerajaan Muna
juga
melakukan aksi makar terhadap kesultanan Buton yang di pimpin oleh
bangsawan
Bone Arung Bakung dengan pasukannya yang berasal dari Makassar dan
Mindanao
(1816-1824).
11.
Pasal
23-25,
penutupan akses bangsa lain terhadap gowa. Dan upaya pembentukan
persekutuan besar terhadap kerajaan-kerajaan ditimur nusantara (pesan
terselubung)
Melalui
perjanjian Bungaya ini Kompeni menginginkan
Gowa untuk tidak lagi memberikan akses pada bangsa lain kecuali Belanda.
Pasal inilah yang membuat motif dibuatnya
perjanjian Bungaya agar menjadikan Gowa sebagai bandar perdangan VOC
menjadi
tidak realistis, dimana seharusnya bagi semua bandar perdagangan, akses
terhadap bangsa lain mestinya tetap harus dibuka. Mengapa pasal ini
harus
dimasukan dalam perjanjian Bungaya jika tujuannya adalah monopoli
perdagangan?.
Pada pasal 24 dan 25, melalui perjanjian ini Kompeni menginginkan agar
semua
Raja dan Bangsawan harus menjalin persahabatan
persekutuan dan menjadikan
Belanda sebagai penengah bagi setiap sengketa yang terjadi
diantara
persekutuan tersebut. Jika disimak dari
pasal 1 sampai 22, dimana melalui perjanjian bungaya ini VOC melakukan
upaya
mengambilan hak-haknya atas kerajaan gowa, penghilangan kekuatan
pertahanan dan
perekonomian Kerajaan Gowa, pemutusan hubungan diplomatik Gowa terhadap
bangsa
lain, memberikan seluruh hak2 sekutu VOC yang sebelumnya telah dirampas
oleh
Kerajaan Gowa dan berusaha membentuk Persekutuan besar terhadap
kerajaan-kerajaan pendukung VOC dimana belanda/VOC sebagai tuan dari
persekutuan tersebut, maka bisa dipastikan inti dari perjanjian Bungaya
itu
sebenarnya terselubung di pasal 23-25 yaitu bukan sekedar monopoli
perdagangan
melainkan menjadikan kerajaan Gowa-Makassar sebagai milik VOC dan pusat
Pemerintahan
Belanda ditimur nusantara, Lebih ekstrimnya, VOC ingin membentuk sebuah
negara
Belanda diatas tanah Makassar. Anehnya, justru Sultan Hasanuddin-lah
yang
menyetujui dan menandatangani perjanjian ini.
12.
Pasal
26
sampai pasal 30 merupakan upaya VOC
untuk melegitimasi isi perjajian perjanjian bongaya tersebut.
C.
Isi
Perjanjian
Bungaya
Naskah
isi perjanjian bungaya 18 November 1667 dapat dilihat DI SINI
D.
Penutup
Begitulah
beberapa kisah dibalik perjanjian Bungaya.
Perjanjian ini mengubah bentuk perpolitikan ditimur nusantara, dimana
Gowa yang
sebelumnya menjadi kerajaan kaya dan disegani, akhirnya hancur, dan
kerajaan
lain justru semakin stabil. Kebanyakan pelajaran sejarah kerajaan2
dibangku
sekolah Cuma melihat dari sudut ke Indonesiaan saja. Sehingga sebagian
sisi
lain harus mengankat kerajaan yang satu dan sebaliknya menghilangkan
peranan
kerajaan lain, dan demi menunjang itu, cacat peristiwa sejarah yang
dilakukan
kerajaan kadang dihilangkan tapi kadang juga yang tidak ada justru
diada-adakan
dan dibesar-besarkan.
Oleh:
Rusman Bahar LM
Makassar
3/10/10
Referensi
·
Andaya,
Leonard
Y. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad
ke-17. Makassar: Ininnawa, 2004
·
Bedah
buku Syair Perang
Makassar (SPM). Mencari yang hilang dalam syair perang makassar. 2008.
Ininnawa
online
·
Suryadi,
Warkah-Warkah
Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni Belanda, Koleksi
Universiteitsbibliotheek Leiden, Masyarakat pernaskahan nusantara 2005
·
Mu’jizah
Duka cita sultan
kaimudin buton kepada raja bone, Masyarakat pernaskahan Nusantara, 2007
·
Fauzi
ahmad, dkk. Bima
Dalam Menyongsong Dinamika Global. KKPMBM,2008
·
Horst h.
Liebner,
Sebuah Manuskrip Belanda Mengenai Kemalangan Armada VOC di Pulau
Kabaena,
Mac-Mei 1650, masyarakat pernaskahan Nusantara,2007
·
Willard
A. Hanna &
Des Alwi “ternate dan tidore, masah lalu penuh gejolak”pustaka sinar
harapan
jakarta 1996.
·
Tentang
Makassar,
http://makassarkota.go.id/
Komentar baru tidak diizinkan.